Oleh: RUDI SETIAWAN (RUGOS)
Di Dukuh Kanthong Bolong, Warung Krikit milik Kang Brodin jadi pusat obrolan warga malam ini. Cahaya lampu teplok menerangi meja kayu reyot, tempat warga menyeruput kopi sambil membahas isu panas: Pestipal Dukuh Kanthong Bolong Jadul yang baru selesai diadakan di Stadion Yosonegoro.
Acara itu katanya bagus, tema bambunya apik, tapi kuliner rakyatnya malah dipenuhi makanan kekinian seperti sempolan, baby crepes, dan Korean street food. Jajanan jadul macam nasi pecel, getuk, lempeng, jrengkeng, teko tahu, wedang ronde, hingga wedang uwoh lenyap tak berbekas. Warga pun ramai-ramai menyindir, dibalut humor khas Warung Krikit.
Brodin, pemilik warung yang jago menganalisis dinamika kehidupan, membuka obrolan sambil mengipasi bara arang. “Pestipal Dukuh Kanthong Bolong Jadul, katanya mau nguri-nguri budaya, tapi kok jajanannya sempolan sama tempura? Nasi pecel langka, getuk hilang, wedang uwoh nggak ada. Ini dinamika apa lagi, rek? Panitia kayak buru-buru, malah jual seafood sama permainan pasar malam yang udah bikin bosen.”
Sukma, aktivis LSM Sukar Maju yang selalu bawa tas slempang penuh pamflet tapi tak paham tugasnya, langsung nyolot. “Ini pasti gara-gara globalisasi! Panitia kebanyakan nonton drakor, makanya jual Korean street food. Kita harus bikin… eh, apa ya? Pokoknya, kita protes biar Pestipal berikutnya jual getuk!” Sukma bingung sendiri, lupa apa itu tupoksi LSM.
Polkah, si pemulung yang suka memprovokasi, menyela dengan nada pesimis sambil memainkan karungnya. “Di Jepang, Pestipal budaya itu autentik, makanan tradisional semua! Di sini? Seafood sama crepes! Panitia ini nggak serius, mending kita bakar aja baliho Pestipal nya. Eh, ada yang mau jual isu ini ke kota? Saya punya kenalan makelar bagus.” Ia terkekeh, tapi matanya penuh kekecewaan.
Puyeh, wartawan Pecah Kongsi Post yang beritanya selalu bikin bingung, sibuk mencatat di buku lusuh. “Ini headline mantap: Dukuh Kanthong Bolong Jadul, Kuliner Kekinian! Tapi, eh, ada yang tahu
fakta apa nggak soal panitia buru-buru? Pokoknya saya tulis dulu, biar viral!” Puyeh tersenyum lebar, meski semua tahu beritanya bakal bikin pembaca pusing.
Somad, modin buta huruf yang bijaksana, mengangguk pelan sambil memegang tasbih. “Dalam hadis, Rasulullah bilang, khairul umuri ausatuha sebaik-baik urusan adalah yang seimbang. Pestipal ini lupa akar budaya, lupa nasi pecel, lupa wedang uwoh. Solusinya, ajak panitia ke masjid, ngobrol soal nguri-nguri tradisi. Kalau nggak, ya kita doain biar sadar.” Warga nyengir, tahu Somad tulus meski sarannya sederhana.
Sastro Ubed, ahli adat yang analisisnya selalu ngelantur, ikut nimbrung dengan gestur berlebihan. “Ini gara-gara kita lupa tradisi! Dulu, Pestipal jadul wajib ada upacara njem getuk buat menghormati leluhur. Sekarang? Jualan crepes! Saya usul, lain kali panitia wajib puasa makan fast food dulu!.” Warga cuma geleng-geleng, tahu ide Sastro absurd.
Jamal, hansip desa yang sok bergaya intel, menepuk meja dengan buku catatannya. “Ini pelanggaran UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 3 ayat 1! Rakyat berhak tahu kenapa panitia pilih jualan sempolan ketimbang pecel! Kalau nggak transparan, saya laporkan ke Pak Lurah, minimal ke grup RT!” Jamal menyisir rambut disemirnya, berpose ala detektif.
Obrolan makin gaduh, sampai Brodin berdiri dan memotong. “Cukup, rek! Kalian ini kayak ayam kehilangan induk, ribut tapi nggak jelas. Dinamika hidup itu butuh aksi, bukan cuma ngeluh! Kang Brodin dengan tegas memberi perintah……
Sukma,,,, pelajari dulu tugas LSM, bikin saran buat panitia Pestipal. Jangan asal asalan menggunakan uang rakyat, semua harus dipertanggungjawabkan.
Polkah,,,, stop provokasi, ajak warga bikin pasar jajanan jadul.
Puyeh,,,, tulis berita yang jelas, jangan cuma buru viral. Cari info yang benar ke pedagang sewa tendanya berapa dan setornya ke siapa ?
Somad,,,, teruskan nasihat bijakmu di pengajian. Sebarkan buku yang berjudul “ jalan sederhana menuju tobat”.ke semua pejabat
Sastro,,,, belajar budaya yang bener sebelum kasih usul. Jangan mengatasnamakan Budaya pada sebuah pestipal kalau kalau hanya mencari sensasi kosong.
Jamal,,,, awasi desa, tapi jangan cuma gaya. Cari tahu KAK dari acara tersebut dan habisnya berapa !!
Gerak sekarang, sesuai kapasitas kalian broooooooo!”
Warga terdiam, lalu bubar dengan langkah penuh semangat. Warung Krikit kembali sunyi, hanya suara jangkrik mengisi malam.
Cerita ini tentang kelalaian panitia Pestipal Dukuh Kanthong Bolong Jadul yang gagal menghadirkan kuliner tradisional, malah memilih makanan kekinian yang tak sesuai tema. Ini menggarisbawahi pentingnya menjaga autentisitas budaya dalam acara yang mengusung nilai tradisi. UU Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14/2008) menegaskan hak rakyat untuk tahu proses pengambilan keputusan panitia, termasuk alasan pemilihan kuliner yang tak relevan. Kritik membangun dari cerita ini adalah perlunya panitia melibatkan warga dan ahli budaya secara transparan untuk merancang acara yang benar-benar mencerminkan identitas lokal, serta peran aktif masyarakat untuk mengawal dan menghidupkan kembali tradisi lewat aksi nyata.
Xi xi xi…
Catatan: Semua karakter dan cerita dalam Warung Kita adalah fiktif. Kesamaan dengan kenyataan adalah kebetulan semata.