NGAWI | INTIJATIM.ID – Pencairan tunjangan sertifikasi guru yang seharusnya menjadi kabar gembira, justru menyisakan polemik. Sejumlah guru mengaku, diminta membayar iuran saat dana sertifikasi cair. Hal ini diduga sebagai bentuk pungutan.
Salah satu guru dari sebuah lembaga pendidikan di Ngawi, yang enggan disebutkan namanya menyatakan, bahwa setiap guru yang menerima tunjangan sertifikasi diminta menyetor uang sebesar Rp.350.000 ke bendahara korwil.
“Tiap lembaga beda-beda jumlahnya. Di tempat saya Rp.350.000. Katanya untuk ganti fotokopi SKTP, kiriman ke dinas, ke korwil, dan juga infak,” ungkapnya, Kamis (1/5/2025).
Ia menambahkan, jika tidak membayar iuran tersebut, maka proses penerbitan SKTP (Surat Keputusan Tunjangan Profesi) tidak akan dilakukan. “Padahal datanya bisa dicek sendiri lewat aplikasi. Sekarang, kalau infak Rp.50.000 dikalikan jumlah guru di Ngawi, berapa banyak uang terkumpul? Saya kasihan dengan teman-teman guru lain, apalagi yang sedang butuh biaya,” ungkapnya dengan kesal.
Sementara itu, Erwin, Bendahara Korwil yang juga merupakan kepala sekolah SDN Karangtengah 1 Ngawi, membenarkan adanya pungutan infak sebesar Rp.50.000 setiap triwulan saat tunjangan sertifikasi cair. Ia juga menyebut, dana tersebut digunakan untuk perbaikan plafon kantor korwil.
“Iya, infak Rp.50.000 itu untuk renovasi plafon. Karena kantor kami tidak punya anggaran perbaikan,” jelasnya, Senin (5/5/2025).
Namun, terkait pungutan Rp.350.000, Erwin menjelaskan bahwa, hal itu hanya terjadi di sekolahnya, dan digunakan untuk keperluan lain.
“Itu untuk pembelian seragam anak saat PPDB. Saya hanya menjalankan tugas dari atasan, lebih jelasnya tanya ke Pak Karno, K3S,” paparnya.
Dikonfirmasi secara terpisah, Karno selaku Ketua K3S Korwil Ngawi membantah adanya potongan Rp.350.000. Ia hanya mengakui adanya infak sebesar Rp.50.000 yang diminta secara triwulanan.
“Tidak ada potongan sebesar itu. Kami memang minta infak 50 ribu untuk operasional, seperti saat bimtek, workshop, atau perbaikan ringan, karena Korwil tidak punya anggaran,” tegas Karno.
Menurutnya, iuran infak tersebut dianggap wajar karena keterbatasan dana operasional. Pun berharap, kedepan pemerintah dapat menyediakan anggaran khusus untuk mendukung kegiatan Korwil tanpa harus meminta dari para guru.
“Harapan kami ada anggaran operasional, agar tidak perlu lagi minta infak dari guru penerima sertifikasi,” pungkas Karno. (Mei)