MAGETAN | INTIJATIM.ID – Era digitalisasi, tentu menjadi tantangan seluruh masyarakat. Begitu juga dengan transaksi pembayaran, yang memanfaatkan teknologi QIRIS sebagai bukti transaksi elektronik.
Berkaca dari itu, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Magetan, juga bakal menerapkan transaksi elektronik untuk penarikan Retribusi Pelayanan Pasar (RPP). Pemerintah Daerah segera menguji coba penarikan RPP tersebut dengan QRIS.
QRIS atau Quick Response Code Indonesian Standard, adalah standarisasi pembayaran menggunakan metode QR Code dari Bank Indonesia.
“Besok kita mulai untuk semua pasar yang ada dalam naungan Disperindag Magetan. Nanti akhir bulan akan kita evaluasi pelaksanaannya,” kata Kepala Disperindag Magetan, Sucipto, Kamis (2/5/2024).

Untuk Retribusi Pelayanan Pasar, kata Sucipto, merupakan amanat dari Perda nomor 1 tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Perda tersebut mengatur tentang Retribusi Jasa Umum yang di dalamnya memuat tentang Retribusi Pelayanan Pasar.
Menurut Sucipto, setidaknya ada dua hal dalam perda yang berlaku serentak se-Indonesia itu. Pertama, penyederhanaan retribusi dan diatur dalam satu perda.
“Sebelumnya, masing-masing pajak dan retribusi punya perda sendiri-sendiri, selanjutnya akan kita terapkan perda yang baru. Sehingga, ada konsekuensi penyesuaian tarif retribusi karena restrukturisasi tersebut. Namun, jika dilihat, sebetulnya pada beberapa hal tidak ada kenaikan, malah ada retribusi yang hilang, contohnya tera ulang sekarang gratis, surat hak menempati jualan juga gratis,” jelasnya.
Dari penyederhanaan perda itu, lanjut Sucipto, pihaknya juga menggunakan QRIS sebagai metode pembayaran. Karena, selain untuk digitalisasi derah, juga untuk menjawab kerisauan masyarakat terkait pungli.
“Dengan QRIS tidak ada uang yang masuk ke petugas atau ke dinas, langsung masuk ke kas daerah. Ini bagus, dan pembayarannya sangat mudah, karena QRIS bisa lintas bank,” ungkap Sucipto kepada intijatim.id
Sebelumnya, Disperindag Magetan juga telah mensosialisasikan perda baru RPP tersebut, dan sudah disepakati oleh perwakilan pedagang melalui paguyuban pasar.
“Dari hasil penelusuran kami, mereka keberatan karena memiliki bedak lebih dari satu, ada juga yang tidak paham dengan teknologi. Tapi intinya, mereka tetap membayar sesuai perda lama 2012, dan tarifnya hampir sama, cuman ada beberapa yang naik tapi tidak signifikan,” tutup Sucipto. (Red)