Kabinet Prabowo-Gibran : Harapan Besar, Tantangan Gemuk

Oleh : IMAN HANDIMAN

SEJAK pengangkatan kabinet baru Presiden Prabowo Subianto yang diperluas dengan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden, publik mulai menantikan terobosan di tengah dinamika politik yang sarat kritik. Kabinet dengan 109 menteri dan wakil menteri ini, terbesar sejak 1966, menghadirkan banyak pertanyaan tentang arah kebijakan dan efektivitas pemerintahan. Di satu sisi, kabinet ini dilihat sebagai strategi merangkul seluruh spektrum politik. Di sisi lain, muncul kekhawatiran tentang efisiensi birokrasi dan implementasi program.
Banyak pihak menilai kabinet ini bagai ‘kampanye yang tertunda’, alih-alih pemerintah yang fokus pada hasil kerja. Akademisi dari berbagai institusi internasional menyebut perluasan kabinet sebagai langkah untuk mengakomodasi koalisi, tetapi mengorbankan stabilitas kebijakan yang efektif. Sebagai catatan, di antara kabinet-kabinet besar dunia, pemerintahan dengan jumlah menteri yang berlebihan sering kali menghadapi tantangan serius dalam menjaga kohesi dan kecepatan implementasi.

Kritik mulai muncul terkait posisi-posisi baru yang diberikan kepada tokoh-tokoh yang dianggap belum menunjukkan kualitas mumpuni. Salah satu yang menjadi sorotan adalah Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha, yang menjadi pusat perhatian karena pernyataannya yang justru dianggap tidak mencerminkan kepantasan seorang pejabat publik. Giring, yang sebelumnya dikenal sebagai musisi dan politisi, telah mengeluarkan beberapa pernyataan yang seolah menonjolkan personal branding ketimbang menunjukkan kemampuan manajerial yang diharapkan publik. Pengamat politik menilai bahwa fenomena ini berpotensi mengurangi kredibilitas kabinet di mata masyarakat.
Tak hanya Giring yang boleh dibilang masih hijau di politik, sejumlah politisi ‘matang’ yang menjadi menteri bahkan juga menjadi sorotan publik. Sementara mereka dikenal sebagai politisi yang gigih, langkah-langkah yang mereka ambil sejauh ini dianggap kurang memperlihatkan arah kebijakan yang matang. “Ini bukan sekadar mengurus jabatan, tapi soal mengurus bangsa,” tutur Prof. Lili Romli dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang menilai bahwa peran menteri tak hanya sebagai simbol politik tetapi juga sebagai motor penggerak pembangunan.

Di bawah judul ‘New President Subianto swears in Indonesia’s largest Cabinet since 1966, with 109 members’, kantor berita Associated Press (AP) menyoroti besarnya kabinet ini sebagai suatu fenomena yang menarik. Dengan menempatkan hampir 50 persen pejabat lama dari kabinet Jokowi, kabinet ini memang memanfaatkan pengalaman lama. Namun, sebagian menteri yang diangkat kembali sempat terkait isu-isu kontroversial, termasuk dugaan korupsi. Hal ini menciptakan dilema: apakah wajah-wajah lama itu mampu memberikan perubahan yang diharapkan atau justru mengulangi kesalahan di masa lalu?
Pada momen pelantikan, Presiden Prabowo menekankan perlunya “pemerintahan kuat yang dapat menyatukan masyarakat multikultural.” Namun, misi ini tampak berliku mengingat tantangan politik dan ekonomi yang dihadapi. Dalam hal ini, masyarakat masih mengamati, apakah kabinet besar ini menjadi simbol kekuatan atau sekadar panggung untuk kepentingan politik.

Dalam tinjauan akademik, Prof. Yanuar Nugroho dari ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura menyoroti kekhawatiran bahwa kabinet besar ini justru berpotensi memperlambat pengambilan keputusan. Ia mencatat, bahwa “semakin besar sebuah kabinet, semakin besar pula tantangan koordinasi dan kemungkinan penumpukan birokrasi.” Hal serupa juga diungkapkan oleh Prof. Dan Slater dalam artikelnya, di mana ia membahas fenomena “kartelisasi partai” di Indonesia, yang memperlihatkan bagaimana oposisi cenderung tak berkembang akibat pemerintahan yang sangat inklusif. Ia mengingatkan bahwa demokrasi tanpa oposisi yang kuat cenderung menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan yang justru melemahkan akuntabilitas.
Beberapa pengamat lokal juga melihat bahwa meskipun kabinet besar dapat membantu dalam konsolidasi politik, anggaran untuk operasional dan gaji menteri yang meningkat dapat menjadi beban berat bagi keuangan negara. Dalam konteks ekonomi global yang sedang lesu, penambahan anggaran untuk kabinet yang gemuk memicu kekhawatiran tentang penggunaan anggaran yang tepat sasaran.

Pengalaman dari Kabinet Dwikora 2 di masa Presiden Sukarno, yang berisi 132 anggota, menjadi pelajaran tersendiri. Kabinet besar saat itu diharapkan mampu mengendalikan situasi politik yang penuh tekanan, namun justru gagal membawa stabilitas. Pemerintahan yang terlalu besar cenderung berujung pada tumpang tindih kebijakan dan sulitnya pengambilan keputusan. Tidak lama kemudian, kabinet tersebut dibubarkan. Pengalaman ini menjadi pengingat bahwa kabinet yang besar tak selalu menjamin pemerintahan yang kuat.

Pada akhirnya, para menteri kabine Prabowo-Gibran menghadapi ujian besar. Target ambisius untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen di akhir periode membutuhkan langkah nyata yang lebih dari sekadar janji. Kabinet ini tak hanya perlu memperbaiki citra politik, namun juga membuktikan kinerja nyata di tengah kondisi yang penuh tantangan.
Seperti ungkapan penyair Chairil Anwar, “Hidup hanya sekali berarti, sudah itu mati.” Demikian pula para menteri di kabinet ini, yang diharapkan tak hanya sekadar menjabat, tetapi benar-benar menunjukkan prestasi. Kabinet Prabowo ini menjadi ujian pertama bagi pemerintahannya: apakah mampu menjawab ekspektasi publik atau justru menjadi simbol pemerintahan yang berat dan lamban. Di atas segalanya, waktu akan membuktikan apakah kabinet gemuk ini bisa menjadi kekuatan atau sekadar menjadi beban bagi bangsa. (*)

Source: Siberindo.co

Loading

Leave a Reply