Oleh: SUPRAWOTO
Ketika masih aktif bekerja, beberapa kali saya melakukan perjalanan dinas di beberapa negara, baik Asia Tenggara, Asia, Eropa maupun Amerika. Karena tugas dinas tentu saja agenda dinas menjadi agenda utama. Kalau ada waktu (biasanya ada City Tour yang diadakan panitia) kemudian keliling kota tempat acara berada. Paling hanya sebatas itu. Setelah itu harus segera balik ke Jakarta, karena tugas juga sudah menanti. Dan ketambahan lagi sangat terikat pada agenda protokoler yang ketat.
Sangat berbeda setelah purna tugas. Saat mengisi liburan bisa lebih leluasa dengan perencanaan sesuai dengan keinginan kita. Seperti yang saya lakukan mulai tanggal 21-29 Juli 2025 ke Vietnam bersama keluarga. Sudah menjadi agenda tahunan, anak saya yang tinggal di Belanda jauh hari sudah menyusun jadual liburan musim panasnya. Kali ini sebelum pulang ke Indonesia mampir dulu mengunjungi Vietnam. Dan saya diharapkan ikut serta dengan cara menyusul ke Vietnam, setelah itu baru bersama-sama pulang ke Indonesia.
Harapan anak saya, agar saya dapat rehat sejenak, bila buku yang sedang saya tulis selesai dan diserahkan ke penerbit. Memang jalan-jalan dan refresing itu sangat perlu sambil melupakan sejenak rutinitas selama ini sebelum rencana menulis buku berikutnya. Ada beberapa alternatif liburan sebenarnya, mau ke Eropa, Asia atau atau cukup ke Asia Tenggara. Akhirnya pilihan jatuh Asia Tenggara dan ke Vietnam menjadi pilihan pertama. Sedang ke Eropa rencana tahun depan saja. Salah satu pertimbangan ke Vietnam karena akses yang mudah dan tidak terlalu jauh, serta anak serta menantu saya belum pernah berkunjung ke Vietnam.
Dan memang, saat ini di era digital begitu mudah merencanakan liburan. Rencana liburan saya telah disusun “mening-mening” dua malam di Hanoi dan kemudian tiga hari ke Halong Bay dan bermalam di kapal. Ya seperti kalau kita ke Labuhan Bajo bermalam di kapal Pinisi. Kemudian hari ke tujuh, dari Hanoi terbang ke Ho Chi Minh. Dan di kota Ho Chi Minh direncanakan menginap selama tiga hari. Saya kira sembilan hari di Vietnam lumayan cukup melihat destinasi unggulan di Vietnam.
Pada akhirnya sesuai dengan rencana tanggal 21 Juli 2025, dengan naik Vietjet Air (maskapai berbiaya rendah) dari Jakarta saya bersama istri terbang ke Hanoi. Pilihan jatuh ke Vietjet Air sebenarnya sederhana saja pertimbangannya. Penerbangan yang langsung ke Hanoi tanpa transit satu-satunya penerbangan hanya Vietjet Air. Tentu saja penerbangan yang memakan waktu empat jam itu kalau harus transit maka perjalanan akan lebih lama lagi.
Namun sayangnya, ketika berangkat penerbangan yang mestinya boardingt jam 14.00 itu harus delay sekitar dua jam. Pesawat baru take off dari bandara Soeta dan terbang menuju Hanoi pukul 16.30. Karena capai menunggu agak lama di bandara maka begitu duduk di kursi, saya langsung tertidur pulas. Satu setengah jam kemudian saya terbangun ketika pesawat mulai terguncang agak keras. Nampaknya cuaca sedang buruk, dan memang sebelumnya sudah diumumkan agar semua penumpang mengenakan sabuk pengaman.
Jam 21.30 pesawat mendarat di bandara internasional Noi Bai Hanoi disambut dengan hujan cukup deras disertai angin kencang. Tak mengherankan ketika landing terjadi guncangan keras (hard landing), mungkin itu cara pilot mengendalikan pesawat ketika hujan deras. Bandara internasional Hanoi terletak di luar kota sama seperti bandara Soeta, yang memerlukan waktu sekitar 40 menit ke Hotel Somerset tempat saya menginap. Hotelnya terletak di tengah kota Hanoi bersebelahan dengan gedung Mahkamah Agung Vietnam dan bekas penjara yang saat ini telah dibuka sebagai museum. Jadinya enak kalau mau kemana-mana, cukup dekat.
Dan selama perjalanan dari bandara ke hotel, hujan belum reda. Malahan disertai angin kencang. Saya jadi heran mengapa Hanoi saat itu kok tidak semacet biasanya. Kita mendapat informasi biasanya terbawa medsos, kalau kota Hanoi itu kota macet dan bising. Bunyi klakson sepeda motor dan mobil sering mengganggu dan memekakkan telinga bagi yang tidak terbiasa. Tapi rasanya kok agak lain kondisinya saat itu.
Tanda tanya itu terjawab ketika sampai di hotel kemudian ketika saya harus menanyakan letak fasilitas hotel seperti tempat ngegym, kolam renang, playground dll. Dengan sangat terpaksa dan minta maaf fasilitas seperti playground, kolam renang dll tidak bisa dipakai karena Hanoi baru dilanda badai topan. Oleh sebab itu banyak fasilitas yang rusak. Bahkan beberapa tempat ada pemadaman listrik.
Akibat badai tersebut maka warga dianjurkan tidak keluar rumah kalau dianggap tidak sangat perlu. Kantor-kantor diliburkan. Demikian juga anak-anak sekolah diliburkan. Makanya tidak mengherankan kalau kota Hanoi yang biasanya macet dan ramai jadi sepi. Dan memang saat itu kondisinya juga masih hujan diserta angin sangat kencang. Setelah menerima penjelasan dari petugas hotel yang ramah, saya segera memasukkan barang bawaan ke kamar kemudian sengaja segera mencari makan khas Vietnam dan yang terkenal di Hanoi.
Makanan Khas Vietnam dan Enak di Hanoi
Tentu saja kalau kita pergi ke suatu tempat, pasti mencari sesuatu yang tidak ada di tempat kita. Utamanya tentu makanan khasnya. Apalagi bagi pecinta kuliner. Bagi kita yang sudah terbiasa pergi ke luar negeri tentu masing-masing punya cara untuk mencari tempat makanan khas dan enak serta harga terjangkau. Apalagi di era digital saat ini tentu akan lebih mudah mencarinya.
Salah satu caranya adalah dengan mencari rekomendasi dari Michelin sebuah lembaga rating kuliner dari Perancis yang terpercaya. Bagaimana mungkin lembaga ini menjadi lembaga rating kuliner yang terpercaya, sedang Michelin sebenarnya awal bisnisnya adalah sebuah perusahaan ban mobil. Justru dari usaha inilah perusahaan ini kemudian berkembang.
Menurut sejarahnya dari berbagai sumber, ketika pada akhir tahun 1800-an menjelang 1900, dua bersaudara Andre dan Edouard Michelin mendirikan perusahaan ban. Karena industri mobil saat itu belum berkembang pesat, dan pengguna masih terbatas maka Michelin kemudian menerbitkan buku panduan cara mengganti ban, peta perjalanan, tempat pengisian bahan bakar, bengkel dsb. Dan buku panduan tersebut dibagikan secara cuma-cuma. Harapannya memudahkan para pemilik mobil serta merangsang orang semakin banyak untuk membeli mobil sehingga ban yang dibuat laku.
Seiring berjalanannya waktu kemudian informasi yang diberikan dalam buku panduan semakin luas dan bervariasi. Apalagi industri mobil semakin berkembang pesat. Pada tahun 1930-an buku panduan pada akhirnya bergeser ke panduan restoran dan tempat makan. Pergeseran ini diharapkan akan memudahkan para pengendara atau pelancong yang mulai marak ketika itu agar tidak kesulitan mencari tempat makan yang enak.
Kalau dulu pada awalnya buku panduan itu dibiayai melalui iklan, namun tidak saat ini. Karena dianggap menguntungkan, maka lembaga rating ini bekerja dengan pemerintah masing-masing negara. Tentu saja setiap negara yang akan dilakukan rating harus bekerja sama dengan lembaga Michelin ini. Dan biasanya masing-masing negara dalam hal ini Kementerian Pariwisata yang melakukan kerja sama. Kalau di negara seperti Vietnam, Muangthai, Malaysia, Singapura sudah melakukan kerja sama. Sayangnya Indonesia kok belum ya. Mungkin biayanya terlalu mahal. Tapi dampak dari rating Michelin itu sangat besar lo. Pemerintah mestinya tidak boleh menghitung untung rugi untuk kesejahteraan rakyatnya.
Maka ketika saya tiba di Hanoi sudah punya daftar menu dan resto apa yang akan saya tuju sesuai rekomendasi Michelin. Malam pertama ketika sudah memasukkan barang-barang di kamar hotel, kemudian segera saya pesan taksi Grab menuju resto Pho Ga Nguyet. Restorannya kecil dan sederhana. Di tengah hujan gerimis, ketika saya baru masuk bersama keluarga ke restoran saja sudah tercium aroma nikmat bau soup yang segar yang masih dipanasi.
Tentu saja nama besar Michelin sudah menjadi jaminan, bahwa yang akan saya santap pasti enak. Saya sengaja memesan soup dengan daging ayam serta jerohan. Dalam bahasa Vietnam-nya Pho Nuoc (Noodle Soup). Sesekali kadang saya sengaja makan agak bebas, seperti daging dengan jerohan. Dengan catatan besoknya pasti melakukan olahraga karena hotelnya juga ada tempat ngegym, serta juga tidak terlalu jauh dengan danau yang menjadi tempat rekreasi sekaligus jogging bagi warga Hanoi maupun turis pada waktu pagi dan sore hari. Jadi banyak alternatif olah raga apa yang akan saya gunakan membakar kalori.
Tidak lama menu yang saya pesan tersaji. Seperti masakan Vietnam umumnya, sayurnya begitu banyak. Demikian juga pasti ada semacam mie warna putih, namun teksturnya lembut serta enak dikunyah serta aromanya sangat menggoda. Betul-betul antara rasa dan baunya sama-sama nikmatnya. Soup yang demikian besar porsinya dalam waktu yang singkat sudah ludes. Apalagi disantap ketika cuaca masih hujan gerimis di kota Hanoi saat itu.
Kebanyakan memang makanan khas Vietnam itu nampaknya terbuat dari soup mie. Kalau pagi banyak sekali resto kecil-kecil yang sudah buka dan yang makan cukup duduk di kursi serta dengan meja kecil persis kursi anak-anak TK di Indonesia. Dan kursi serta mejanya di tata di pedestrian depan resto. Setiap pagi banyak sekali warga Hanoi sarapan sambil duduk menikmati udara pagi. Dan biasanya sampil menyantap soup juga dipadu dengan makan roti cakue atau bakpo. Rasanya persis seperti kalau warga Madiun makan nasi pecel, orang Surabaya sarapan soto, warga Yogya sarapan gudeg, warga Jakarta sarapan bubur ayam, warga Palemang makan empek-empek.
Ketika hari pertama saya di Hanoi juga cukup heran, mengapa orang-orang yang nongkrong di resto sambil makan di pinggir jalan kok banyak sekali kipas angin yang diarahkan ke yang pada duduk. Malahan bukan hanya kipas angin, AC portable juga ditaruh di luar di samping pengunjung yang lagi nongkrong. Setelah cuaca terang tidak lagi hujan saya baru sadar, begitu panasnya kota Hanoi di bulan Juli-Agustus. Bahkan pagi hari jam 06.30 warga yang duduk-duduk di pinggir telaga juga memegang kipas untuk menghilangkan atau minimal mengurangi cuaca panas. Akhirnya saya jadi mengerti mengapa AC di kamar hotel saya diarahkan ke tempat tidur!!!!!
Namun cuaca panas setelah tidak hujan tidak mengurangi hasrat untuk menikmati rasa nikmatnya kuliner di Hanoi. Makan siang esoknya saya mencoba makan sesuai rekomendasi dari Michelin juga, mengingat sarapan pagi sudah tersedia di hotel. Dan menu sarapan di hotel juga sangat bervariasi mengingat hotel bintang lima, tentu saja semua sangat memanjakan lidah. Karena kebanyakan tamu adalah turis manca negara maka juga disediakan menu internasional. Namun yang jelas berbagai jenis roti tersedia selain masakan Vietnam.
Makan siang akhirnya dipilih Banh Mi. Restonya juga kecil sebagaimana umumnya resto di Vietnam. Banh Mi itu sejenis Sandwich tapi ala Vietnam. Roti bentuknya dibuat memanjang kemudian dibelah diisi dengan berbagai sayur dan saus bumbu serta daging ayam. Maaf bagi yang makan daging babi dapat memilih daging babi, karena berbagai pilihan tersedia (bagi pecinta daging babi konon rasanya sangat menggoda). Saya pikir rasanya kaya Burger yang biasa kita makan, tetapi ini rasanya enak sekali. Rotinya renyah terasa di lidah. Sebaiknya dimakan selagi hangat, enak banget. Beli untuk masing-masing satu saya pikir sudah sama dengan nasi satu piring, kenyang!!!!!
Bagaimana dengan makan malamnya? Sedang makan malam yang dipilih akhirnya Banh Xeo. Makanan khas Vietnam yang cara membuatnya, tepung beras adonan yang sudah dibunbui dalam bentuk cair dituang di penggorengan (wajan) seperti membuat telor dadar, hanya bedanya dibuat besar dan agak tipis. Kemudian setelah agak matang diberi telor dituang di atas adonan yang telah nampak rata di penggorengan tersebut. setelah diberi telor kemudian diberi daging ayam dan tauge.
Selanjutnya adonan di penggorengan tersebut dilipat menjadi dua seperti melipat martabak. Setelah matang ditaruh di piring baru dihidangkan selagi panas. Jadilah Banh Mi. Cara makannya, Banh Mi tadi dipotong kemudian ditaruh di daun selada atau sawi tergantung selera, kemudian kita gulung. Banh Mi yang sudah kita gulung tadi kemudian dicocolkan di saus, rasanya enak!!!!. Apalagi dimakan selagi hangat dan kota Hanoi juga kadang-kadang dilanda hujan. Betul-betul terasa nikmat sambil ngobrol dengan anak serta menantu saya.
Hari-hari selama di Hanoi kalau makan siang dan malam pedoman yang saya pakai salah satunya ya rekomendasi Michelin. Selain berpedoman kepada Michelin, tidak ada salahnya kalau ingin tahu makanan yang disenangi warga setempat seperti Hanoi, maka lihat saja makanan atau minuman yang diberikan rating paling enak oleh warganya. Jadi tidak hanya berpedoman pada rating berdasarkan Michelin. Maka saya kemudian juga mencari makanan khas Hanoi yang disenangi warganya. Jenisnya apa saja. Kemudian rating yang diberikan warga tersebut menjadi salah satu yang saya jadikan pedoman untuk mencicipi makanan khas Hanoi.
Contohnya kopi di Café Giang yang telah berjualan sejak 1946, juga merupakan rekomendasi warga Hanoi. Dibuka pertama oleh Nguyen Van Giang sebagai pengganti susu yang ketika itu susu menjadi minuman langka. Kopinya memang unik. Ketambahan menantu saya memang penyuka kopi, maka minum kopi di Café Giang merupakan agenda utama. Sebaliknya, saya bukan penikmat kopi sejati, karena ada masalah di perut saya sejak muda bila minum kopi sering kembung. Namun karena kopi di Café Giang memang unik maka saya juga ikut memesan, gimana rasanya.
Memang unik kopi di Café Giang ini. Kopinya dicampur dengan telor. Terus rasanya gimana kopi dicampur dengan telor, apakah tidak amis? Pertanyaan itu pasti muncul dari setiap orang yang belum pernah mencicipi. Terus rasanya juga bagaimana. Rasa penasaran itu pasti membuncah bagi yang belum pernah merasakannya.
Sama ketika tahun 2006 saya tugas dinas ke Bengkulu. Waktu itu saya ingin pergi ke Kabupaten Rejang Lebong ibu kotanya Curup untuk nengok teman. Sepulang dari rumah teman, saya sengaja mampir di pasar Curup untuk membeli parang khas Curup. Saat di pasar itu saya melihat warung kok ramai sekali. Ketika saya lewat dan memperhatikan ternyata warung tersebut menjual teh telor.
Saya langsung penasaran sekaligus heran apa tidak amis? Kalau amis kok banyak yang suka dan beli. Akhirnya untuk menjawab rasa penasaran saya, maka saya ikut nimbrung pesan satu gelas. Cara membuatnya, air panas separo gelas diberi teh kemudian isi telor mentah dimasukkan gelas dan diaduk pakai seikat sapu lidi kecil dan agak berbuih. Setelah diaduk rata, kemudian ditambah air diaduk lagi dan dihidangkan. Ketika “nyruput” teh telor tadi menjadi heran, bau amis sama sekali tidak terasa. Hanya rasa nikmat yang ada.
Café Giang sangat kecil. Pintunya saja seperti masuk di gang kecil sekitar tujuh meter. Bila berpapasan yang satu harus bersedia miring. Saya tidak bisa membayangkan kalau yang masuk ke Café ini gendhut, ya akan kesulitan. Tempat duduknya ada yang di lantai bawah dan lantai atas. Seperti umumnya resto dan café di Hanoi meja dan kursinya kecil-kecil. Kebetulan waktu saya minum pengunjung tidak terlalu penuh. Tapi mayoritas nampaknya para turis asing.
Gimana rasanya? Enak dan nikmat sekali. Hanya di dalam hati saya berharap mudah-mudahan perut saya tidak sakit dan malahan bisa tidur nyenyak dan bermimpi baik di Hanoi. Dan betul malamnya saya bisa tidur nyenyak dan esoknya bangun terasa segar. Ditambahkan pula perut kok juga tidak berontak. Biasanya perut saya kalau minum kopi sangat sensitif, mungkin karena kafein. Para pembaca penikmat kopi saya sarankan kalau ke Hanoi, harus mampir ke Café Giang, guna menikmati kopi telor!!!!!
Demikian juga kalau haus, banyak bertebaran warung yang berjualan es buah. Salah satu yang direkomendasikan orang-orang Hanoi adalah “Disert Shop Che Dung 95.” Berbagai menu es buah tersedia, mulai es buah dengan es krim, es buah denga yogurt dll. Rasanya juga enak dan segar. Dan rasanya juga tidak terlalu manis seperti es di Indonesia yang biasanya sangat manis.
Sedang penikmat mie, menu mie jangan ditanya Vietnam salah satu gudangnya. Makan apa saja kebanyakan pasti dengan mie. Saya melihat jarang sekali warga Hanoi di restoran besar atau yang kecil kemudian menyantap menunya nasi. Pasti mie!!!!. Lima hari di Hanoi saya rasanya kangen sekali makan nasi. Karena kebanyakan restorannya menyediakan masakan dengan menu soup mie dengan berbagai variasinya. Selama di Hanoi saya hanya dua kali makan dengan nasi, itupun nasi goreng!!!!!.
Destinasi Wisata
Sebagai negara yang dulunya merupakan gabungan antara idiologi negara komunis (Vietnam Utara) dan liberal (Vietnam Selatan) tentu sangat menarik untuk dikunjungi. Dan tak mengherankan bila propaganda tentang idiologi komunis masih terasa dimana-mana setelah USA angkat kaki dari Vietnam Selatan tahun 1975. Kondisi ini tentu saja akan menarik perhatian siapa pun untuk dilihat dalam segala aspeknya.
Tak mengherankan bila tahun 2024 saja lebih dari 10 juta turis asing datang ke Vietnam. Dan kenaikan dibandingkan tahun lalu sekitar 25 persen. Bandingkan dengan Indonesia untuk kunjungan tahun 2024 sekitar 12,66 juta turis asing dan kenaikan dibandingkan tahun lalu berkisar 20 persen. Suatu saat kalau Indonesia tidak segera antisipasi bisa saja akan kalah dengan Vietnam dalam hal kunjungan wisatawan manca negara.
Lima hari di Hanoi, seperti telah saya sebutkan di atas saya sudah berencana dan menyusun jadual dua hari di Hanoi serta tiga hari di Halong Bay. Perjalanan dari Hanoi ke Halong Bay sekitar dua jam. Mulai dari perjalanan dari Hanoi sampai tiga hari di kapal sudah dipesan. Menurut buku panduan yang saya terima sebenarnya tidak beda dengan destinasi wisata Labuhan Bajo, Raja Ampat. Hanya di Halong Bay memang anak saya sudah memesan untuk bermalam sekaligus berlayar di kapal pesiar (cruise) yang memang terkenal di Halong Bay.
Kapal pesiar Doris Cruise ini cukup besar dan lengkap fasilitasnya itulah yang sudah dipesan. Fasilitasnya cukup lengkap, mulai dari kolam renang, kamar yang menghadap ke laut dengan balkon, tempat olah raga, sarana hiburan dll. Demikian juga selama pelayaran makan minum serta ke tujuan wisata sudah termasuk biaya yang kita bayar. Dan bayarnya memang cukup mahal. Seperti kata pepatah Jawa,”ana rega ana rupa.”
Namun sayangnya, ketika saya datang di Hanoi sudah disambut angin topan. Dan pemerintah sudah melarang kegiatan wisata di Halong Bay termasuk pelayaran. Tentu saja akan sangat beresiko kalau dipaksakan dalam cuaca yang memang tidak bersahabat. Agen wisata yang mengatur masih terus memberi informasi setiap saat dan berharap ada perubahan kebijakan pemerintah ketika hari H. Akan tetapi sampai dengan jadual keberangkatan pemerintah Vietnam tetap belum membuka. Maka gagal total rencana pesiar di Halong Bay dengan kapal pesiar (Doris Cruiser).
Pada akhirnya harus disusun ulang rencana lima hari di Hanoi. Kebetulan cukup banyak destinasi yang bisa dikunjungi seperti museum penjara (yang bersebelahan dengan hotel), Mausoleum Ho Chi Minh, Museum Militer, pasar tradisional, danau di tengah kota Hanoi dan lainnya.
Seperti yang saya sampaikan di muka, hari pertama di Hanoi disambut hujan walau sudah tidak terlalu deras namun angin sangat kencang. Agar waktu efektif saya mencoba ke Mausoleum Ho Chi Minh dengan naik taksi dari hotel. Sayangnya hari itu kok ya ditutup. Menurut informasi semua kantor dan layanan publik ditutup karena badai topan. Tentu saja saya sangat kecewa tidak bisa berkunjung di salah satu tempat yang menjadi tujuan wisata di Hanoi hari itu.
Akhirnya, saya balik ke hotel. Istirahat sejenak kemudian menyusun agenda makan malam. Memang sarana prasarana hotel sebagian terkena dampak. Kolam renangnya juga banyak terdapat daun-daun yang terbawa angin. Malahan atap lapangan tennis dan playground juga roboh kena angin. Waktu saya datang saja masih merasakan sisanya. Payung yang saya pakai harus saya pegang kuat-kuat agar tidak terbawa angin.
Baru esok paginya agenda dimulai untuk mengunjungi museum penjara yang kebetulan letaknya di sebelah hotel dan hari itu buka. Museum penjara ini namanya Hoa Lo Prison. Dulu di jaman penjajahan Perancis digunakan sebagai tanahan politik. Kemudian ketika Vietnam masih terpecah menjadi Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, maka penjara ini juga digunakan tahanan untuk tawanan Amerika.
Museum penjara ini cukup terawat, dan juga sedikit menyeramkan kalau dihayati. Adapun isinya diantaranya penggambaran bagaimana perlakuan terhadap tahanan di masa itu, melalui patung-patung yang menyerupai aslinya. Kakinya dikat dengan plat besi. Juga terlihat foto tahanan yang dipenggal dan kepalanya dipasang ditempatkan di tempat seperti kerodong kemudian digantung. Cara memenggal kepala tahanan dengan guillotine. Dan guillotine-nya juga masih dipasang di museum itu juga bukan tiruan, tetapi tetap aslinya. Melihat museum itu kita seperti dibawa ke masa lalu ketika bangsa Vietnam mengalami masa penjajahan.
Kemudian esok harinya saya mengunjungi museum militer yang letaknya agak di luar kota. Namanya juga museum militer, maka yang ditonjolkan bagaimana bangsa Vietnam melawan penjajahan Perancis maupun proses terjadinya penyatuan kembali Vietnam melalui peperangan yang sangat panjang dengan Amerika Serikat. Demikian juga di halaman museum yang demikian luas, dipajang mesin perang mulai pesawat, senjata penangkis udara, tank, maupun rongsokan pesawat Amerika Serikat yang ditembak jatuh.
Museum militer yang menempati tanah yang demikian luas dan gedung yang demikian besar, sebanding dengan pengunjung museum yang begitu banyak. Dan pengunjungnya baik warga lokal maupun turis asing dan jumlahnya seimbang. Artinya museum itu manarik minat warga lokal maupun asing. Tentu bagi warga asing ingin tahu gambaran ketika terjadi penyatuan kembali Vietnam. Sedang bagi warga lokal museum itu akan menumbuhkan jiwa nasionalisme.
Saya kemudian membayangkan kondisi museum di Indonesia. Kok kondisinya seperti berbanding terbalik. Semua museum baik museum militer yang ada di Jakarta maupun Yogyakarta dan tempat lainnya sepi pengunjung. Demikian juga museum di pusat maupun daerah, tidak terlalu banyak pengunjung kalau dibandingkan di Vietnam. Saya kira sangat jauh!!!!!
Hari ketiga di Hanoi, akhirnya saya dapat informasi kalau Mausoleum Ho Chi Minh telah dibuka kembali namun untuk berkunjung dan melihat ke jasad Ho Chi Minh belum dibuka. Hanya bisa masuk ke museum dan halaman gedung dimana jasad Ho Chi Minh disemayamkan. Dan hal itu sudah saya anggap cukup dari pada tidak bisa sama sekali walaupun cuma di halaman dan melihat museum.
Tentu saja begitu banyak pengujung yang datang, mengingat sudah beberapa hari tidak buka. Yang datang juga sama seperti di museum militer, antara turis lokal dan asing seimbang. Ditambah lagi letak Mausoleum berada di tengah kota, jadi mudah diakses dari mana-mana. Bahkan yang tinggal di hotel tengah kota cukup berjalan kaki. Termasuk saya juga cukup jalan kaki saja. Rasanya lega bisa berkunjung dan tentu saja ikut berpose sebagai kenang-kenangan di Mausoleum Ho Chi Minh.
Hari berikutnya acara saya di Ho Chi Minh melihat Citadel Palace yang letaknya juga di dalam kota. Sebuah istana peninggalan abad 13 hampir sama dengan masa Majapahit. Bangunannya juga terbuat dari bata merah, dan lantainya terdiri dari terakota. Jadi pada masa itu nampaknya ada kesamaan bahan bangunan yang terbuat dari bata. Demikian juga pintu gerbangnya, juga terbuat dari bata merah. Hanya bangunan-bangunan di tengahnya banyak dibangun pada masa penjajahan Perancis.
Masih beberapa destinasi wisata yang saya kunjungi seperti pasar tradisional, taman-taman, dll. Namun tidak seperti kunjungan saya di satu-satunya masjid di Hanoi, namanya Al-noor. Letaknya juga tidak terlalu jauh dari tempat saya menginap. Hanya sekitar 750 meter saja dengan jalan kaki. Saya bersama istri mencoba sholat di sana. Setelah sholat saya bertemu pengurus masjid, ternyata orang Palestina tapi sudah lama tinggal di Bekasi. Karena istrinya ternyata berasal dari Bekasi. Hanya saya nggak sempat ngobrol banyak, waktu saya yang sangat mepet.
Hari Sabtu dan hari kelima saya di Hanoi, jam 09.00 saya segera menuju bandara untuk melanjutkan perjalanan ke kota Ho Chi Minh. Kali ini naik pesawat Vietnam Airlines, sebuah maskapai nasional kebanggaan rakyat Vietnam. Mungkin seperti GIA di Indonesia. Pesawat berangkat on time. Dengan pesawat berbadan lebar Boieng 787-9 Dreamliner yang mampu mengangkut hampir 300 orang pesawat take off mulus dari bandara Hanoi menuju kota Ho Chi Minh. Dari balik jendela saya mencoba melihat kota Hanoi dari ketinggian, dan semakin lama semakin kecil gedung-gedung yang mulai memenuhi kota Hanoi. Namun kota Hanoi yang semakin kecil dari penglihatan saya telah banyak memberi pelajaran yang sangat besar kepada saya dalam berbagai aspeknya. (bersambung)
(Suprawoto adalah mantan Kadis Kominfo Provinsi Jawa Timur 2002-2005, Kepala Badan, Irjen, Sekretaris Jenderal Departemen Komunikasi dan Informatika 2014-2017. Dan saat ini sebagai Ketua Pembina Yayasan Pendidikan Wartawan Jawa Timur).