NGAWI | INTIJATIM.ID – Di tengah pro-kontra program Makanan Bergizi Gratis (MBG), Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang terletak di Desa Semen, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, justru menunjukkan dampak positif yang nyata bagi masyarakat sekitar. Tak hanya memberi asupan bergizi untuk siswa, kehadiran SPPG ini juga menyerap tenaga kerja lokal dan pemberdayaan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).
Ferdi dan Vega, dua pekerja divisi pengantaran di SPPG Semen Paron, mengaku bersyukur bisa bekerja di kampung halaman mereka sendiri.
“Kalau Ferdi baru lulus sekolah, saya sudah pernah kerja di Karawang. Senang sekali bisa kerja dekat rumah, gak perlu jauh-jauh. Gaji Rp.100 ribu per hari dan jam kerjanya juga enak, dari jam 5 pagi sampai jam 2 siang. Satu tim ya solidlah kita nyaman kerja di dapur,” ujar keduanya saat ditemui. Senin (29/9/25)
Sementara itu, Kepala SPPG Semen Paron, Ari Julia, menjelaskan bahwa, operasional dapur sudah dimulai sejak 25 Agustus lalu dan kini melibatkan 47 tenaga relawan serta tiga staf profesional yang terdiri dari ahli gizi, akuntan, dan kepala SPPG.
“Dapur Paron termasuk yang paling besar di Ngawi, dari segi pelayanan, kebersihan, dan operasional. Setiap hari kami evaluasi. Kalau ada kekurangan atau kendala di tim, langsung kita selesaikan,” ungkapnya.
Ari juga menambahkan, terkait pengelolaan limbah dilakukan secara tertib. Limbah umum dipisahkan, sementara limbah seperti minyak goreng bekas dan kardus dijual untuk dimasukkan ke kas relawan.
“Uangnya digunakan untuk kesejahteraan relawan. Misalnya kalau ada yang sakit, bisa dijenguk atau untuk kegiatan rekreasi. Per tanggal ini sudah ada saldo Rp2 juta,” jelasnya.
Kepala Desa Semen, Suyanto, yang juga menjadi mitra program ini, membenarkan bahwa seluruh tenaga kerja berasal dari warga lokal.
“Memang saya harapkan pekerja dari warga tiga desa, yaitu Kedungputri, Semen, dan Teguhan. Kenapa harus cari dari luar kalau di lingkungan kita ada yang mampu,” katanya.
Tak hanya itu, kebutuhan dapur MBG juga mulai disuplai dari produsen lokal. Mulai beras, sayur, tahu, tempe, ayam, hingga lele juga dipasok oleh warga sekitar. Semua transaksi tersebut dilakukan melalui Bumdes.
“Kalau kualitasnya bagus dan sesuai standar, pasti kita terima. Semua melalui Bumdes, di situlah ekonomi desa bisa berputar. Bumdes berkembang, masyarakat juga diuntungkan,” tambahnya.
Terkait isu makanan basi dan keracunan yang mencuat di berbagai wilayah, Suyanto menegaskan bahwa itu murni karena kesalahan saat proses packing dan keterlambatan waktu saat dikonsumsi.
“Ini bukan sekadar makan siang, tapi makan bergizi gratis. Kalau dibilang gak enak, ya karena ini makanan sehat, tidak pakai vitsin (penyedap rasa). Kedepannya saya akan kumpulkan kepala sekolah untuk beri pemahaman agar makanan segera dikonsumsi setelah diterima,” pungkasnya. (Mei/IJ)