NGAWI | INTIJATIM.ID – Kejadian memilukan terjadi di salah satu SD Negeri Kedunggalar, Ngawi. Seorang siswa berinisial (B) mengalami trauma dan menolak kembali ke sekolah, setelah diduga menjadi korban perundungan dan kekerasan verbal dari wali murid lain.
Ironisnya, insiden tersebut berlangsung di lingkungan sekolah tanpa adanya tindakan dari pihak guru maupun pihak sekolah.
Orang tua korban, Eka, mengungkapkan bahwa, anaknya dimarahi di depan siswa lain oleh orang tua dari teman sekelasnya usai terlibat perkelahian kecil antar anak. Namun, menurut Eka, tindakan tersebut seharusnya menjadi ranah penyelesaian pihak sekolah, bukan malah didatangi langsung oleh orang tua murid lain.
“Kalau masalah anak bertengkar harusnya diselesaikan guru, bukan orang tua datang ke sekolah dan memarahi anak saya di depan teman-temannya. Yang menyakitkan, guru hanya melihat tanpa menegur. Itu saya dengar sendiri dari cerita anak saya dan teman-temannya,” ujar Eka kepada IntiJatim. Minggu (7/9/25)
Akibat insiden tersebut, anak Eka mengalami kecemasan, ketakutan dan menolak kembali ke sekolah. Merasa tidak mendapat tanggapan dari pihak sekolah maupun klarifikasi dari grup komunikasi kelas, Eka akhirnya membawa pengacara dan melayangkan somasi ke wali murid pelaku.
“Saya kecewa karena tidak ada satu pun dari pihak sekolah yang menjawab saat saya tanyakan di grup kelas. Akhirnya saya bawa pengacara,” tegasnya.
Kuasa hukum Eka, Muhammad Zakki Fathoni, S.H., M.H., menyatakan bahwa, langkah hukum akan ditempuh apabila tidak ada itikad baik dari wali murid yang bersangkutan.
“Tindakan wali murid yang memarahi anak di sekolah telah berdampak psikologis terhadap korban. Klien kami telah melampirkan surat keterangan dari psikolog bahwa anaknya mengalami kecemasan dan ketakutan yang berlebih, Jika tidak ada niat baik, kami siap membawa kasus ini ke jalur hukum,” ungkap Zakki. Senin (8/9/25)
Zakki juga menegaskan, bahwa tindakan tersebut melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak No. 17 Tahun 2016 (perubahan dari UU No. 23 Tahun 2002), di mana kekerasan psikis terhadap anak bisa dikenai pidana hingga 3 tahun 6 bulan penjara.
“Selain pelanggaran terhadap UU Perlindungan Anak, kami melihat adanya unsur kelalaian dari pihak sekolah, karena membiarkan orang tua luar masuk ke lingkungan pendidikan tanpa pengawasan untungnya tadi pihak sekolah mengakui dan ada itikad baik,” tambahnya.
Terpisah, Kepala Sekolah SDN setempat, Wulan Ambarwati, membenarkan adanya kelalaian namun menyayangkan keputusan orang tua korban membawa pengacara.
“Kami akui kecolongan, tapi kenapa harus langsung dibawa ke jalur hukum? Harusnya bisa diklarifikasi dulu. Apalagi anak tersebut tinggal dengan neneknya, bukan orang tuanya langsung. Jadi, kemarin memang sempat komunikasi dengan putranya pelaku dan disuruh pulang. Belum klarifikasi ke sekolah tapi langsung bawa pengacara,” ujar Kepsek tersebut.
Pihak sekolah sendiri mengaku kesulitan melakukan mediasi, karena wali murid pelaku belum menunjukkan itikad baik dan tidak hadir saat diundang ke sekolah.
“Kami sudah menunggu pihak yang bersangkutan, tapi hingga kini belum datang juga. Kami berharap ada titik temu agar anak yang bersangkutan bisa kembali sekolah dan peristiwa ini tidak terulang,” pungkasnya.
Kasus ini menjadi alarm keras bagi dunia pendidikan, khususnya dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi anak-anak. Pendekatan preventif dan peran aktif sekolah dalam menyelesaikan konflik harus diperkuat, agar tidak terjadi pembiaran yang berdampak buruk pada psikologis anak. (Mei/IJ)