JELANG akhir paruh tahun ini Magetan masuk musim estafet kepemimpinan Partai Politik (Parpol). Golkar sudah mulai panas. PKS, PAN, PDI Perjuangan, dan NasDem sedang bersiap. Acaranya klasik: musyawarah, konsolidasi, konferensi. Pertanyaannya sederhana: ini regenerasi sungguhan atau sekadar formalitas karena tampuk pimpinan berputar di lingkaran kelompok tertentu?
Umumnya, kader parpol tak membaca zaman yang terus bergerak tanpa menunggu rapat pleno ini. Percakapan warga sudah berpindah ke layar hp. Isu-isu global sudah jadi obrolan warung. Karena perangnya di seberang benua tapi dampaknya terasa sampai ke dapur rakyat kita. Kecepatan data informasi terus berlari dengan kecepatan cahaya. Siapa yang tak bisa mengikuti ritme perubahan ini, akan tertinggal.
Di banyak partai, pola lamanya masih kuat: jika ada kader muda yang menonjol justru alarm waspada menyala. Baru muncul, sudah dicurigai. Para senior gelisah, struktur merapat. Kita pernah diingatkan Robert Michels tentang iron law of oligarchy. Sederhananya begini: makin lama sebuah organisasi berjalan, kekuasaan cenderung mengumpul pada segelintir orang inti. Tidak melulu karena mereka ada niat buruk, melainkan kebiasaan yang mengakar lama.
Mereka paling sering rapat, pegang informasi, dan akhirnya keputusan otomatis jatuh ke tangan mereka. Prosedur pun jadi makin kaku, anggota baru banyak jadi penonton. Akibatnya ide segar sulit naik. Regenerasi pun tersendat. Keputusan mengalir dari atas ke bawah. Lama-lama, kebiasaan ini menjadi pagar. Yang muda harus menunggu. Mungkin sampai semangatnya habis.
Tiga bulan ke depan, Magetan berhak menuntut hal yang lebih waras dari peserta pemilu: parpol. Butuh suksesi yang bernyali. Bukan kosmetik. Bukan kompromi basa-basi. Kita perlu pemimpin yang paham dashboard, yang mengerti cara membaca sentimen publik, yang mengajak warga bicara. Bukan hanya bisa menghitung kursi dan kasih instruksi satu arah.
Teorinya jelas. Richard S. Katz mengingatkan tentang apa yang disebut partai kartel. Partai yang nyaman bersandar pada sumber daya negara, makin lihai menjaga pagar, dan makin malas membuka pintu. Akibatnya regenerasi jadi macet, inovasi tumpul, kompetisi internal dimatikan demi “stabilitas”. Itu memang stabil, tapi statis. Dan statis di era yang serba cahaya berlari ini sama saja dengan berjalan mundur.
Di sisi lain, dalam riset partai modern yang dibukukan Katz dalam Handbook of Party Politics menunjukkan organisasi yang adaptif itu punya pola sama: rekrutmen terbuka, kaderisasi transparan, insentif berbasis kinerja, serta penggunaan data dalam pengambilan keputusan. Meritokrasi semestinya bukan jargon, ia adalah sebuah sistem. Kalau sistem meritokrasi partai itu ditegakkan, maka usia jadi tidak relevan, kapasitas yang bicara.
Angelo Panebianco menambahkan kunci lain: asal-usul dan tingkat institusionalisasi partai menentukan pola kekuasaan di dalamnya. Partai yang lahir dari gerakan, tapi tumbuh menjadi mesin elektoral, sering terseret ke logika “menang dulu, pembenahan nanti”. Akibatnya, perubahan struktur selalu “habis Pemilu saja”. Dan endingnya “habis Pemilu” itu tidak pernah jelas kapan akan terjadi. Maka, suksesi Agustus–Desember ini adalah jendela kecil parpol untuk memutus kebiasaan itu.
Lantas apa yang mestinya terjadi dalam musim estafet ini?
Pertama, beri mandat kerja yang jelas. Ketua baru parpol perlu kontrak yang bisa diukur: target digital (respons isu 24 jam, bukan 24 hari), target kaderisasi (kelas rutin, bukan sekali setahun), target keterlibatan pemilih muda (program yang menyentuh pendidikan, kerja, wirausaha, lingkungan). Jadi, yang dibutuhkan bukan deretan kalimat kaku tanpa makna, tapi angka yang jelas.
Kedua, angkat yang paling kompeten, bukan yang paling aman. “Aman” itu sering berarti nyaman bagi elite, bukan bermanfaat bagi warga. Kalau ada kader muda yang “terlalu menonjol” dan bikin sebagian senior risih, justru itu alarm baik. Singkirkan rasa tersaingi; jadikan ia mesin pendorong. Tentu senior tetap diperlukan sebagai mentor dan pagar etika. Peralihan tongkat estafet itu sungguh bukan sebuah kudeta. Tapi kemudi parpol perlu dikendalikan sosok yang paling cakap membaca dashboard: peta pemilih, sentimen harian, alur isu, dan jaringan komunitas. Karena politik hari ini lebih mirip manajemen pengetahuan ketimbang parade baliho.
Ketiga, buka jalur data. Infrastruktur informasi di tingkat lokal itu murah kalau serius: CRM (Constituent Relationship Management) kader dan simpatisan, panel analitik, SOP respon cepat isu, dan kalender kerja kolaboratif. Politik hari ini bukan lagi sekadar sebaran poster dan meriahnya panggung kampanye. Sekali lagi, politik hari ini adalah manajemen pengetahuan. Tanpa itu, Anda sekadar menebak.
Keempat, hentikan ritual formalitas tanpa isi. Forum musyawarah partai jangan lagi hanya berisi teriakan yel-yel dan rentetan pidato formalitas. Cobalah isi dengan opsi yang bermutu, naskah kebijakan, dan angka target. Setiap keputusan layak disertai analisis singkat tentang masalah apa, pilihan kebijakan apa, dan konsekuensinya apa. Kalau rapat hanya formalitas, kader terbaik akan menjauh. Bukankah itu yang sering terjadi?
Kelima, ukur dan umumkan. Apa saja. Misalnya jumlah pelatihan kader per bulan, kegiatan literasi politik tingkat desa, program magang politik untuk mahasiswa, dan kolaborasi dengan komunitas kreatif. Buka pintu, biarkan talenta baru masuk. Bentuk tim audit internal untuk memastikan kepatuhan keuangan dan etika. Publikasikan ringkasannya.
Transparansi membangun kepercayaan, dan kepercayaan akan memotong biaya politik. Meritokrasi internal parpol itu harus jadi sebuah prosedur yang diulang-ulang sampai menjadi kebiasaan dan lalu jadi budaya.
Angelo Panebianco mengingatkan bahwa arah awal dan tingkat institusionalisasi akan menentukan watak partai. Banyak partai lokal tumbuh jadi mesin elektoral murni, “menang dulu, pembenahan nanti”. Nanti itu tak pernah datang jika jendelanya selalu ditutup. Nah, Agustus–Desember adalah jendela. Kecil, tapi ada. Dipakai atau dibiarkan.
Saya tahu ada yang sinis: “Teori bagus, realitas beda.” Betul. Tetapi teori membantu kita menamai dan mengenali masalah.
Magetan tak perlu revolusi besar. Cukup disiplin baru. Ukur. Umumkan. Perbaiki. Ulangi. Dalam setahun, orang Magetan bisa menilai: partai mana yang tumbuh, partai mana yang berjalan di tempat. Dalam empat tahun, pemilih muda akan mengingat siapa yang memberi ruang, bukan sekadar spanduk.
Agustus–Desember 2025 bukan hanya soal siapa duduk di kursi ketua parpol di Magetan. Ini soal arah politik. Apakah partai di Magetan mau jadi rumah yang lampunya terang dan ramah bagi talenta muda, atau gudang yang gemboknya berlapis-lapis? Apakah kita mau memenangkan masa depan, atau sekadar mengabadikan masa lalu?
Saya memilih terang. Karena di ruang terang, kesalahan cepat terlihat, cepat diperbaiki. Senior tak kehilangan kehormatan. Yang muda tak kehilangan waktu. Rakyat tak kehilangan harapan.
Jika pergantian kali ini hanya merombak nama tanpa merombak cara, 2029 akan tiba dengan pertanyaan yang sama: “Kok kita masih di sini-sini saja?”
Ya, musim estafet sudah tiba. Anda tak butuh pidato panjang, melainkan keberanian pendek untuk menyerahkan kunci kepada yang paling cakap, lalu Anda akan berdiri di sampingnya sebagai pagar moral. Dalam politik itu disebut: kematangan kader parpol (*)
Penulis: Diana Sasa (Mahasiswa Pasca Sarjana Ketahanan Nasional, UGM).