Oleh: Prof. Henri Subiakto
Saya dapat WA dari para ahli hukum, mereka mengabarkan kabar gembira katanya MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi sejumlah pasal UU No. 1/1946 tentang Peraturan Pidana, yang diterbitkan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti serta sejumlah organisasi.
Dalam kesimpulannya, MK menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1/1946 tentang penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran, tersebut jika dibandingkan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam pertimbangan yang dibacakan Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih, MK menilai, merumuskan norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1/1946 yang luas dan tidak jelas, dan bertentangan dengan Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945.
Sementara untuk amar putusan pada uji materi Pasal 310 ayat 1 KUHP, MK menyatakan pasal tentang pencemaran nama baik itu bersyarat inkonstitusional. Dalam pertimbangannya, MK menilai rumusan Pasal 310 ayat (1) KUHP sebetulnya telah diakomodasi dalam Pasal 433 UU Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP baru). Dalam berkas permohonannya, Haris, Fatia, dkk meminta MK menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 UU KUHP, Pasal 310 ayat (1) KUHP; dan Pasal 27 ayat (3) _juncto_ Pasal 45 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan sejumlah pasal UUD 1945.
Menjawab WA pengumuman teman2 ini saya jawab : Memang sekarang pasal 27 ayat (3) juncto pasal 45 ayat (3) UU no 11/2008 tentang ITE itu sudah tidak berlaku lagi sejak 4 Januari 2024. Artinya pasal2 yg digugat lalu keputusan MK kemarin itu keberadaannya sudah tidak berarti lagi.
Karena pasal-pasal tersebut sudah direvisi, dan muncul dalam pasal baru, yaitu pasal 27A dan pasal 45 ayat (4) UU no 1 th 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 11 tahun 2008 Tentang ITE. Di pasal baru yang diundangkan Jokowi 2024 ini justru rumusannya lebih karet daripada pasal 27 ayat (3) di UU sebelum revisi kedua yang digugat di MK.
Tidak adanya tindakan yang menyebarkan, mentransmisikan dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik, menyebabkan jadi karet. Contoh nara sumber podcast yang diwawancara saja bisa dikenakan pasal ini. Jika muatannya masuk kriteria pelanggaran dan pencemaran nama baik.
Padahal Nara sumber bukan orang yang aktif melakukan transaksi elektronik, dia tidak mentransmisikan informasi elektronik. Nara sumber hanya menjawab pertanyaan. Pasal ini yang kemudian sudah ditafsir dan dipakai oleh pejabat tinggi melaporkan seorang nara sumber Podcast.
Belum lagi yang jadi korban dapat melaporkan disebut dalam rumusan pasal itu dengan kata-kata menyerang kehormatan orang lain, tidak dirumuskan secara khusus untuk seseorang sebagaimana dalam pasal 310 KUHP lama, artinya bisa ke banyak orang, bahkan untuk organisasi. Gawat kalau penghinaan terhadap organisasi bisa dipidana.
Berarti menghina pemerintah (organisasi) bisa menuntut pencemaran nama baik. Ini bahayanya pasal 27A UU ITE yang baru, dan sejak Januari berlaku.
Jadi keputusan Peninjauan Kembali di MK terjadi secara materiil itu mubazir. Pasal pasal yg memutuskan MK semua sudah tidak berlaku dan sudah digantikan dengan pasal2 baru yang lebih karet, multi tafsir berdasar Perubahan Kedua UU ITE yang bisa ditafsir untuk menjerat para pengritik Pemerintah.
Sedangkan pasal 14 dan 15 UU no 1 th 1946 yang diputuskan MK tidak sesuai UUD 1945 juga normanya sudah dimodivikasi dan dimasukkan ke pasal 28 ayat (3) UU No 1/2024 tentang ITE yang baru dengan beberapa perubahan rumusan bunyi pasal.
Dengan demikian keputusan MK yang dimohonkan oleh Haris Azar dan Fatia itu terlambat. MK hanya memutus barang yang sudah tidak ada. Seakan hebat tapi aslinya pasal yg dinyatakan menyimpang dengan UUD 45 sudah tidak berlaku lagi dan sudah direvisi dengan diperbarui di UU ITE yang baru, yang justru isi rumusannya lebih buruk dan lebih multi tafsir. (*)
Source : siberindo