Sekilas Berdirinya PSHT Kabupaten Magetan

Oleh: Suprawoto dan Agus Sudibyo
Sekitar tahun awal 1970-an, PSHT belum merupakan sebuah perguruan bela diri yang besar. Bahkan khususnya di Magetan saja masih kalah pamor dengan organisasi bela diri yang lain dan di beberapa tempat telah dibuka latihannya. Waktu itu berkembang pesat bela diri yang dianggap lebih keren seperti yudo, karate, jujutsu dll. Dan saya juga telah pernah ikut latihan dari salah satunya.
Apakah PSHT waktu itu belum ada warganya? Sebenarnya sudah ada. Ada yang pengesahan tahun 1968, 1971 dst. Namun karena jumlahnya masih sangat sedikit dan tidak memiliki power dan sebab lain maka banyak warga yang tenggelam. Kalaupun ada warga yang kemudian mengadakan latihan kemudian tempat latihannya di pinggiran. Seperti yang dilakukan latihan yang pertama waktu itu dibuka di Barat dan dilatih oleh Mas Temon, Mas Suratmin dan Mas Sarminto. Namun baru dibuka sebentar siswanya banyak yang keluar, karena berbagai sebab tentunya.
Sedang di kota Magetan sendiri, juga pernah dicoba tapi nasibnya sama, tutup. Latihan pertama dibuka pada tahun 1972, yaitu tadi baru beberapa kali latihan juga bubar. Kemudian tahun 1973 dibuka lagi, latihannya di SD Mangkujayan dengan masih menggunakan penerangan lampu petromak namun baru beberapa kali latihan juga bubar. Sedang pelatihnya Mas Panidi 1972 (Banjeng), Mas Nardji 1973 (Maospati) dan Bandi 1973
(Winong).
Mengapa seringkali latihan PSHT waktu itu tidak berjalan lama dan kemudian tutup. Menurut pengamatan saya ada beberapa sebab diantaranya adalah, pertama latihannya sangat lama. Tidak ada yang namanya latihan satu tahun kemudian disahkan. Dan juga belum ada
yang namanya latihan privat. Tua dan muda prosesnya juga harus melalui rute yang sama. Kedua, latihannya dilaksanakan pada malam hari. Bahkan kalau sudah naik ke sabuk hijau
latihannya seminggu tiga kali. Dan kalau latihan berakhir sampai menjelang pagi. Tentu bagi orang tua yang sangat mengutamakan pendidikan formal anak, model latihan yang demikian berat dipandang akan sangat mengganggu belajar putra-putrinya. Ketiga, latihan yang cukup keras wajar kalau waktu dibuka banyak siswanya kemudian dalam perjalanan kemudian banyak yang keluar. Akibatnya belum sampai mengesahkan siswanya latihannya sudah tutup. Keempat, tekanan dari lingkungan serta organisasi bela diri yang lain.
Namun usaha untuk membuka latihan oleh warga tidak pernah berhenti. Seperti yang dilakukan tahun 1972 kemudian dibuka di Maospati. Ketika itu saya (Suprawoto) baru kelas 3 SMPN Maospati. Ketika baru dibuka pertama kali, banyak sekali siswa yang mengikuti latihan. Ada kalau 150 siswa. Waktu latihan pertama kali para siswa hanya pakai celana pendek dan kaos saja. Kemudian oleh pelatih diminta untuk memakai pakaian seragam yang umumnya terbuat dari karung tepung gandum (segitiga biru) yang dicelum warna kuning. Dan biar ongkosnya murah maka banyak yang dijahitkan di pasar. Karena Maospati pelatihnya di masyarakat waktu itu juga dipandang sebagai orang yang baik, berperilaku baik maka orang tua juga tidak keberatan anak-anaknya mengikuti latihan PSHT.
Latihan dilakukan malam hari di lapangan depan Sekolah Teknik jurusan Kimia dan Keramik (sekarang menjadi SMPN 3 Maospati) dengan penerangan di temeraman lampu listrik dengan warna kekuningan (110 Volt). Sedang lampunya hanya digantungkan di dahan pohon “waru dhoyong” yang tumbuh di pinggir lapangan. Yang mendirikan sekaligus melatih di Maospati seperti Mas Suparlan anggota Kopasgat Iswahyudi (dulu namanya Kopasgat berganti menjadi Paskhas kemudian kembali menjadi Kopasgat kembali), Mas Sudiro TNI AU Iswahyudi, Mas Abdulrachman TNI AU Iswahyudi, Mas Jumain mahasiswa Sekolah Tinggi Olahraga Surabaya (kemudian menjadi perwira TNI AD dan sekolahnya sekarang
gabung Unesa), Mas Temon pegawai sipil Iswahyudi, Mas Djoko dll.
Latihan di Maospati bisa berjalan terus tanpa gangguan sedikitpun saya kira tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Lanud Iswahyudi. Kita tahu, wilayah Maospati tentu tidak bisa dilepaskan dari adanya Lanud Iswahyudi. Dengan pelatihnya banyak dari kalangan anggota Lanud Iswahyudi tentu masyarakat awam memandang bahwa adanya latihan PSHT di Maospati merupakan kebijakan dan minimal telah mendapat restu dari pimpinannya. Oleh
sebab itu keberadaan latihan PSHT sangat lancar tanpa gangguan dari pihak manapun.
Karena latihan di Maospati siswanya banyak dan juga teratur maka banyak warga yang kemudian berkunjung kalau pas ada latihan. Warga yang sering berkunjung melihat latihan seperti Mas Panidi, Mas Warno, Mas Bandi, Mas Sarminto dll. Kedatangan para
warga tersebut tentu saja untuk memberikan support kepada pelatih agar latihan terus bisa berjalan. Dan kita sebagai siswa melihat sikap saling hormat antara sesama warga demikian
baik, dalam hati timbul rasa keinginan yang sangat besar bahwa suatu ketika akan menjadi bagian dari warga PSHT.
Waktu latihan tingkat polos, pelaksanaan hanya seminggu sekali saja. Dan latihannya pada hari Sabtu malam Minggu dimulai jam 19.00. Ketika tingkat polos selesai latihan paling malam jam 11.00. Namun semakin tinggi tingkatannya semakin malam selesainya. Demikian juga frekuensi latihannya juga semakin banyak. Tapi yang berat itu kalau hujan. Atau habis hujan. Ya harus tetap latihan di bawah hujan gerimis atau tanah yang becek. Latihan tidak
berhenti karena hanya alasan hujan atau lapangan becek.
Waktu naik ke tingkat jambon, peserta latihan tinggal separonya saja. Dan selebihnya tidak melanjutkan, istilahnya “mrothol” dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya. Namun sebagian besar alasannya karena latihannya memang sangat berat. Kadang kalau saya
mengingat kembali akan beratnya latihan ketika itu, kok saya kuat ya. Mungkin saja karena masih muda dan fisik juga kuat.
Apalagi ketika naik ketingkat sabuk hijau, latihannya sudah seminggu tiga kali. Sedang saya sudah malanjutkan ke SMAN Magetan (sekarang SMAN 1 Magetan). Dan harus kost di desa Candirejo Magetan. Maka saya harus pulang pergi naik sepeda kalau latihan di Maospati. Untung saja saya ada teman, malahan sejak TK sampai SMPN Maospati latihan PSHT juga bersama yaitu Sarnjoto (kemudian menjadi adik ipar saya karena menikah dengan adik saya) sehingga selalu berdua. Latihannya biasanya Sabtu malam Minggu, Selasa malam Rabu dan Kamis malam Jum’at. Sedang selesai latihannya rata-rata jam 03.00 dini hari dan kemudian kembali ke Magetan naik sepeda lagi. Tidur sebentar lanjut masuk sekolah.
Bayangkan kota Magetan saat itu kendaraan umum masih jarang sekali. Kendaraan umum dari Maospati terakhir jam 17.00. Oleh sebab itu tidak ada pilihan bagi saya selain naik sepeda. Dan memang kota Magetan waktu itu jam 17.00 toko sudah tutup semua. Kalau sore dan malam hari tidak ada yang buka. Justru sekitar pasar sudah menjadi hidup kembali sekitar jam 02.00 ketika para pedagang sayur mulai turun dari atas memikul dan menggendhong dagangannya dijual ke pasar. Kemudian pagi-pagi dibawa ke Madiun dan
kota sekitarnya.
Ketika latihan saya menginjak tingkat putih, tinggal sekitar 20-an anak yang bertahan ikut latihan. Ketika tingkat putih ini dua atau tiga minggu sekali dilakukan latihan bersama di Madiun. Dan dalam latihan bersama itu selalu memperolah ke-SH-an dari Mas Imam Kusupangat atau Pak Badini. Kalau latihan bersama di Madiun bisanya siswa dari Maospati ramai-ramai naik sepeda bersama-sama. Kalau saya (Agus Sudibyo) kebetulan sekolah menengah atas di Madiun. Karena sekolah di Madiun maka saya kemudian kost di Madiun. Ketika kelas satu tahun 1971 saya ikut Latihan PSHT di Madiun. Waktu itu latihannya di sebuah rumah Jl. Achmad Yani sedang pelatihnya Mas Gatot Subroto. Latihannya lantainya juga masih dari tanah. Biasa rumah
jaman dulu. Namun waktu itu saya hanya ikut sebentar dan tidak melanjutkan latihan lagi.
Pada tahun 1972 saya masuk untuk ikut latihan lagi. Kali ini latihannya dari polos
sampai jambon di Sekolah Pendidikan Guru Negeri (SPG) Jl. Sumatra Madiun. Naik ke sabuk hijau latihannya pindah ke SMA Bonaventura Jl. Diponegoro Madiun. Kemudian ketika naik ke sabuk putih latihan pindah lagi ke Balai Desa Oro Oro Ombo Kota Madiun. Begitu kondisi latihan PSHT saat itu. Di Madiun saja yang nota bene dekat dengan pengurus pusat saja tempat latihannya harus sering pindah tempat.
Tentu saja dengan adanya latihan bersama, saya bisa bertemu dan mulai kenal dengan teman-teman dari Maospati kalau latihan bersama di Balai Desa Oro Oro Ombo ketika itu. Dalam latihan bersama, kita semua selain silaturahmi, juga bisa tukar menukar teknik juga ditutup dengan sambung persaudaraan. Dan ketika tingkat putih saya sebagai siswa ada perasaan bangga dalam hati ketika itu, bahwa kita akan bertambah saudara dalam ikatan
PSHT. Latihan yang dijalani sekian lama tidak lama lagi akan mencapai titik kulminasi dengan menjadi sedulur “tunggal kecer.” Sampai di tingkat putih latihan tingkat pusat Madiun diikuti sebanyak 49 siswa.
Ketika masih menjadi siswa itulah kita banyak mendapat pitutur luhur yang
disampaikan oleh Mas Imam maupun Pak Badini. Tentu saja bagi warga PSHT pasti telah diajarkan oleh para pelatihnya. Namun kemudian dijalankan apa tidak, itulah yang menjadi persoalan saat ini. Banyak pitutur luhur yang ditulis di dinding gedung latihan, bahkan di tugu-tugu pinggir jalan. Tetapi tulisan itu sepertinya hanya sekedar tulisan tidak lebih sebagai bentuk legitimasi teritori tanpa makna apa-apa. Bahkan tugu-tugu itu saat ini seperti mengalahkan tugu Pancasila sebagai idiologi negara.
Ada salah satu pesan Mas Imam yang kemudian menjadi pegangan saya ketika masih menjadi siswa,”Saya ingin warga PSHT sekolahnya bener dst……….” Jadi Mas Imam sendiri waktu itu juga menekankan, pencak itu hanya sebagai sarana untuk kita berkumpul.
Wajar saja, tentu akan sangat sulit apabila mengajak seseorang berkumpul dan mengikatkan diri menjadi saudara tanpa ada sarana atau kuda penarik yaitu pencak. Dari sarana pencak
itulah apabila semua tahap dilalui kemudian kita mengikatkan diri dalam sumpah menjadi saudara. Oleh sebab itu pesan Mas Imam bagi yang masih sekolah dan menjadi siswa walaupun latihannya malam jangan sampai meninggalkan sekolah. Harus tetap belajar, dan juga berprestasi.
Pada tanggal 3 Februari 1974 di bulan Sura penanggalan Jawa dilakukan pengesahan. Dan pengesahan dilaksanakan di Gedung IKIP Madiun (Cabang Malang yang terletak sebelah selatan stadion) diikuti seluruh Indonesia. Dan yang disahkan ketika itu hanya berjumlah 98 orang. Dari jumlah itu saja yang latihan dari latihan pusat 49, Maospati 20-an, Barat 1, lainnya dari daerah lain. Sedang yang mengesahkan Bapak Darjo (Porong), Bapak Badini, Bapak Harsono putra Bapak Harjoutomo, Mas Imam Kusupangat, dan Mas Singgih.
Dan Bapak Tomo Mangkujoyo sebagai pengawas.
Sebelum dilakukan prosesi pengesahan, dengan pakaian hitam-hitam pada malam hari berjalan dengan berbaris tertib, dan semua yang akan disahkan diharuskan mengikuti salah satu prosesi yaitu berziarah ke makam Eyang Sura di Winongo. Waktu rombongan yang akan
disahkan berziarah dengan berjalan dengan tertib tersebut, tidak ada gangguan sedikitpun. Madiun adem ayem saja ketika itu. Tidak ada kesan suasan mencekam, atau menakutkan.
Bahkan begitu tenangnya suasana kota polisi yang berjaga-jaga pun sama sekali tidak ada. Di tempat pengesahan pun, tidak ada polisi yang berjaga-jaga saat itu.
Tentu saja betapa bangganya ketika semua siswa yang kemudian disahkan sebagai warga PSHT saat itu. Saking bangganya teman-teman dari Maospati pulangnya dengan masih memakai pakaian hitam-hitam berjalan kaki dari Madiun pulang ke Maospati. Jalan kaki ketika itu dilakukan semata-mata sebagai bentuk rasa syukur berhasil menjadi warga PSHT setelah melalui proses pendadaran panjang lebih dari dua tahun lamanya. Dan ketika telah sampai masanya (untuk disahkan ketika itu minimal berumur 17 tahun) ketika disahkan betul-betul menjadi hari yang bersejarah bagi setiap individu yang kemudian harus memikul beban dengan memegang ajaran luhur PSHT serta sumpah yang baru diucapkannya.
Ketika disahkan sebagai warga PSHT saya (Suprawoto) kebetulan naik ke kelas 2 SMAN Magetan. Sedang saya (Agus Sudibyo) naik kelas 3. Setelah saya disahkan sebagian besar pengesahan 1974 kemudian berinisiatif mendirikan latihan di kota Magetan. Tentu saja untuk mendirikan di kota Magetan kemudian kita harus mengurus ijin. Dan ijin diurus oleh sdr Haryono (pengesahan 1974 latihan Madiun) dan dibantu teman-teman warga 1974 yang baru semua seperti Agus Sudibyo, Suprawoto, Sarnjoto, Sukamto, Bambang Sediono, dan Mas Gatot Subroto dari Madiun pengesahan 1970.
Setelah ijin dan syarat lainnya didapat kemudian dibuka pendaftaran. Dan yang sangat mengejutkan, yang mendaftar ternyata banyak sekali. Sedang latihannya di halaman SMEA di sebelah selatan masjid Agung Magetan (sekarang berdiri gedung perpustakaan). Diantara peserta latihan adalah teman-teman saya, adik kelas juga kakak kelas saya di SMAN Magetan. Juga banyak siswa dari STM (sekarang SMK) di Magetan ketika itu.
Sedang latihan putri dilaksanakan di rumah Pak Gardjito TNI AD yang dinas di Secata (pelatih bela diri yudo). Yang ikut latihan putri ketika itu juga cukup banyak, sekitar 20 anak. Yang ikut latihan juga putri pejabat di Magetan seperti putri Bupati Magetan Djajadi, putri Sekda dll (sayang putri pejabat tersebut tidak ada yang sampai disahkan). Tentu saja cukup mengherankan, latihan pertama awal taun 1974 sudah mendapat sambutan yang baik dari masyarakat bahkan pejabat.
Mungkin karena sambutan yang demikian besar dari masyarakat, menyebabkan siswa organisasi bela diri yang lain berkurang peminatnya. Suatu saat ketika masih latihan di SMEA lampunya tiba-tiba mati. Setelah dicari menyebabnya, ternyata ketahuan kabelnya diketemukan diputus. Tentu saja putusnya kabel menurut penilaian kita karena kesengajaan. Kota Magetan itu kecil. Tentu gampang mencari kira-kira siapa yang melakukannya. Akhirnya kita datangi orangnya yang kita duga melakukannya. Dan betul, setelah kita bicara baik-baik yang bersangkutan mengakui dan langsung minta maaf selanjutnya latihan berjalan tidak ada gangguan sama sekali.
Namun juga ada hikmahnya, karena adanya gangguan tersebut kemudian atas jasa pak Gardjito kemudian latihannya dipindah ke halaman belakang Kodim Magetan. Waktu itu Komandan Kodim Pak Panudju (kemudian menjadi Bupati Ngawi). Yang aktif melatih waktu itu adalah saya (berdua), Mas Gatot Subroto, dan Sarnjoto. Juga Mas Sukamto. Sedang warga lainnya hanya kadangkala saja datang karena kesibukan masing-masing. Mas Gatot karena rumahnya Madiun kalau waktunya melatih tidurnya di temat kost saya di Candirejo. Bahkan kita bertiga harus secara patungan mengumpulkan sebagian uang saku untuk memberi uang transport kepada Mas Gatot, karena harus naik kendaraan umum Madiun-Magetan pp.
Karena saya bertiga (Agus Sudibyo, Suprawoto dan Sarnjoto) masih berstatus siswa sekolah, maka kalau waktunya melatih bergantian. Kalau salah satu melatih siswa, yang lainnya belajar di salah satu ruangan Kodim. Jangan sampai karena menjadi pelatih kemudian mengabaikan sekolah. Seperti pesan Mas Imam, maka saya bertiga berkomitmen akan meneruskan kuliah. Tidak boleh karena PSHT menjadi sebab justru menghambat cita-cita saya. Justru malahan sebaliknya, harus menjadi pemacu serta pemicu untuk merealisasikan cita-cita.
Dengan segala suka dan dukanya merintis PSHT di kota Magetan, dan khawatir kalau sampai saya waktunya kuliah nanti belum bisa mengesahkan, kemudian kami berlima (Mas Gatot Subroto, Agus Sudibyo, Suprawoto, Sarnjoto, Sukamto) kemudian bernazar, bila nantinya kita bisa mengesahkan siswa berapun jumlahnya, akan berjalan kaki dari Magetan-Solo lewat Cemorosewo-Tawangmangu.
Nazar itu kita ucapkan karena semakin sedikitnya siswa yang bertahan sampai di tingkat putih. Bayangkan waktu pembukaan pertama yang ikut lebih dari seratus siswa. Yang bertahan sampai tingkat putih tinggal sekitar 15 siswa. Dan kemudian beberapa siswa sudah sampai tingkat putih juga “mrothol” seperti Sutrisno (Ringinagung), Darsono (Plaosan), Muji (Sarangan) dll. Sayang sekali sebenarnya, Latihan yang dijalani sekian lama akhirnya harus putus ketika sudah diujung latihan. Tapi bagaimana lagi, alasan-alasan yang bersangkutan yang kemudian kita tidak bisa menahannya.
Ikatan persaudaraan antara warga PSHT waktu itu sangat kuat. Di sela-sela melatih dan sekolah waktu liburan, saya berdua (Agus Sudibyo dan Suprawoto) dengan berboncengan sepeda motor mengunjungi saudara kita yang merintis latihan di Yogyakarta, kemudian lanjut ke Cilacap. Di Cilacap yang membuka latihan waktu itu Mas Roso Wihadi (pengesahan 1972). Demikian akrabnya persaudaraan PSHT ketika itu, walaupun semua dalam kondisi sangat sederhana dalam segala halnya tapi ikatan persaudaraan demikian kuat.
Pada akhirnya dalam perjalanan waktu hampir dua tahun latihan di kota Magetan maka pada tahun 1975, sebagian siswa-siswa kita dengan perjuangan masing-masing bisa disahkan. Dan yang disahkan berjumlah 15 siswa itu terdiri dari:
Putra: Alm. Birin, Alm Yadi (Polisi Brimob), Alm Suparno, Alm Herman, Alm Sugianto, Alm Kus Harjanto, Alm Tarmudji, Yadi (Cilik), Sukardi, Suprapto, Suparno.
Putri: Alm Harly, Sri Sujatmi, Muryudani, Sulistyowati.
Dengan disahkannya siswa-siswa menjadi warga PSHT ada rasa lega, bangga dan sekaligus haru. Salah satu alasannya adalah ketika nantinya kita tinggalkan untuk meneruskan kuliah, latihan PSHT di kota Magetan akan terus berjalan. Bahkan nantinya saya yakin PSHT keberadaannya di Magetan akan semakin berkembang. Dan rasa lega itu semakin membuncah dalam hati saya karena nantinya akan ada generasi penerus mengingat pondasi yang telah dibangun sudah jadi.
Demikian juga di tempat lainnya di wilayah Magetan selain Maospati yang telah mengesahkan siswanya sejak 1974, di Takeran pada tahun 1975 juga mulai mengesahkan siswanya. Sedang yang melatih di Takeran waktu itu diantaranya adalah Mas Abu Mufadlo (mBah Ling), Mas Tohir, Mas Supri, Mas heri, Mas Kyai Zuhdi Tafsir dll. Dari sinilah kemudian PSHT mulai mendapat tempat di hati masyarakat.
Sedang untuk memenuhi nazar kita berjalan kaki dari Magetan-Solo, kemudian kita berempat menyusun agendanya. Di suatu malam, dari tempat saya kost di Candirejo kita berempat memulai perjalanan dengan berjalan kaki ke Solo lewat Cemorosewu-Tawangmangu-Solo. Sedang jalan antara Sarangan-Tawangmangu waktu itu masih makadam. Belum ada kendaraan roda empat yang berani lewat, karena sempit.
Selain sempit jalannya juga licin. Jalan berbatu itu banyak ditumbuhi lumut. Ketika kita berjalan harus ekstra hati-hati. Di tempat-tempat tertentu kita harus perpegangan pada akar-akar pohon di tebing-tebing pinggir jalan agar tidak terpeleset. Kalau tidak ada akar juga ranting-ranting pohon yang kira-kira kuat untuk berpegangan. Dengan berbekal seadanya disertai “sentolop” warna putih terbuat dari seng itu kita berjalan pelan-pelan.
Dengan segala suka dan duka dalam perjalanan, malam hari berikutnya sampailah kita di Solo. Karena memang tidak punya uang untuk menginap di losmen murah sekalipun, maka kita kemudian minta ijin nginap di Polsek Jebres dekat Stasiun Jebres. Tidurnya pun dibangku di teras Polsek. Baru esoknya kita berempat naik kereta api turun di Stasiun Barat, kemudian dilanjutkan naik delman ke Maospati.
Alhamdulillah, pada akhirnya kita berhasil mengesahkan siswa di tahun 1975 saya bertiga (Agus Sudibyo, Suprawoto, Sarnjoto) kemudian pergi ke Yogyakarta untuk mempersiapkan masuk kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM). Dan saya bertiga akhirnya bisa masuk di UGM. Dan indekost di tempat yang sama bertiga. Walaupun kita bertiga sudah di Yogyakarta untuk meneruskan kuliah, namun kita tetap memantau dan membantu berjalannya latihan di Magetan. Dan latihan di Magetan siswanya juga semakin banyak. Dan latihannya pun juga semakin tertib dan teratur. Pada akhirnya pada tahun 1976 bisa mengesahkan siswa lagi di antaranya:
- Alm Tri Supeno.
- Alm Atok Widayanto/Gandung.
- Alm Paryanto
- Alm Didik.
- Alm Supriyadi.
- Alm Suradi.
- Alm Sugiono.
- Alm Suwarto.
- Gaguk Nugroho.
- Fajar Sukmono.
- Agus Margono.
- Kemis.
- Suyitno.
- Mas’ud.
- Sutrisno.
- Joko Wasono.
- Atun.
Perkembangan PSHT selanjutnya semakin pesat dan kondisi ini sangat melegakan serta menggembirakan. Dan kita kuliah di Yogyakarta juga menjadi tenang. Selanjutnya sekitar awal tahun 1980-an organisasi PSHT semakin ditata dengan lebih baik di bawah kepemimpinan Mas Imam Kusupangat. Kemudian dibentuk kepengurusan cabang. Dan selanjutnya seiring berjalannya waktu cabang-cabang semakin berkembang di seluruh Indonesia. Sepengetahuan saya di bawah kepemimpinan beliau (sejak saya menjadi siswa) keluhuran ajaran PSHT itulah yang menjadi nilai penting dan yang selalu ditekankan. Di manapun beliau memberi wejangan, salah satu yang selalu disampaikan ciri orang PSHT sejati itu kalau kehadirannya selalu dirindukan bukan sebaliknya. Dan salah satu sumpah kita sebagai saudara tunggal kecer adalah…… Saya tidak tahu persis apakah warga PSHT saat ini masih memegang dan ngugemi ajaran luhur itu. Serta sumpah itu. Wallahu a’lam bishawab.
Penulis: Suprawoto (Pengesahan PSHT 1974, alumni (S1) UGM 1982, S2 Unair 1998 dan S3 Unibraw 2007. Bekerja di Departemen Komunikasi dan Informastika jabatan terakhir Sekretaris Jenderal dan Bupati Magetan 2018-2023).
Agus Sudibyo (Pengesahan PSHT 1974, alumni (S1) UGM 1982 dan pekerjaan terakhir di Universitas Trisakti Jakarta).
Post Comment