Sembilan Hari di Vietnam (Hal.2)

Tulisan Kang Woto

Oleh: Suprawoto

Ho Chi Minh (Saigon)

Turun dari pesawat kemudian mengambil bagasi, ketika keluar bandara sudah disambut mobil penjemput yang memang sudah dipesan. Bandara Ho Chi Minh (Saigon) letaknya juga tidak terlalu jauh dari kota. Bahkan mungkin letaknya masih dalam kota. Oleh sebab itu ketika mobil penjemput menuju hotel, perjalanan tidak terlalu lama sudah sampai di hotel. Hanya sekitar 25 menit saja. Berbeda ketika landing di Hanoi disambut dengan hujan dan angin, cuaca di kota Ho Chi Minh sangat cerah.

Hotel Silver Yen Hotel tempat saya menginap letaknya termasuk di tengah kota Ho Chi Minh. Hotelnya tidak terlalu besar, dan hanya sembilan lantai. Namun tempatnya cukup strategis. Nyaris berada diperempatan jalan, karena dipisahkan sebuah restoran di sebelahnya. Bahkan di seberangnya berdiri megah gedung Independent Day dengan halaman yang luas dengan pohon besar nan rindang. Seperti Istana Bogor di Indonesia yang juga menjadi salah satu destinasi wisata dan landmark kota Bogor.

Dan tempat disekitar hotel saya menginap, juga di lingkungan turis asing yang banyak bermalam disekitar tempat ini. Jarak dengan pasar besar tradisional (seperti Pasar Gede Solo atau Pasar Beringharjo Yogyakarta) juga sangat dekat. Hanya sekitar 300 meter saja. Hanya bedanya pasar tradisional di Ho Chi Minh walaupun bangunan lama sangat bersih dibandingkan pasar besar di Hanoi. Pedagangnya nampaknya juga ikut menjaga, dengan menata rapi dagangannya, sehingga banyak turis asing yang berkunjung bahkan makan di pasar.

Karena di pesawat sudah dapat makan siang, maka ketika sampai di hotel perut saya sudah tidak berontak dan tidak perlu lagi mencari tempat makan siang. Sehingga pada siang sampai sore hari itu saya gunakan istirahat di hotel, karena rencana malam harinya akan makan malam ke luar untuk mencari makanan di kota Ho Chi Minh atas rekomendasi dari Michelin.

Sedang untuk sore hari setelah istirahat sebelum makan malam, saya gunakan jalan-jalan untuk orientasi medan di sekitar hotel sambil olahraga joging yang sudah menjadi kebiasaan rutin saya. Malahan ketika di Hanoi saya juga sempatkan sepedaan putar-putar Hanoi sambil olah raga pagi. Sedang sepedanya saya pinjam di hotel yang memang disediakan khusus tamu hotel. Lumayan sepedanya model BMX bisa dibuat putar kota walaupun tidak senyaman sepeda saya sendiri yang ada di rumah yang memang saya pilih untuk kenyamanan bersepeda saya.

La ketika di Ho Chi Minh, saya putuskan tidak bersepada karena pedestriannya saya rasakan kok cukup nyaman dibandingkan di Hanoi. Kalau di Hanoi ketika berjalan kaki sering kali saya harus mengalah karena pedestrian banyak digunakan tempat parkir mobil atau sepeda motor. Bahkan juga sering kali pedagang kaki lima atau malahan untuk tempat duduk resto kecil-kecil yang memang seperti sudah menjadi budaya masyarakat Vietnam. Hal demikian sudah dianggap biasa walaupun pedestrian mestinya untuk pejalan kaki.

Agak berbeda sekali dengan masyarakat di kota Ho Chi Minh. Kalau pedestrian dipakai tempat duduk masih menyisakan bagi pejalan kaki. Malahan di sekitar hotel, kanan-kiri jalan selain pedestriannya luas nyaman untuk jalan, malahan juga ditumbuhi pohon besar menjulang tinggi dan lurus. Besarnya saja lebih dari tiga pelukan orang dewasa. Sangat indah dipandang mata dengan jalan-jalan yang halus, dengan kerindangan pohon karena pengambil kebijakan sangat memperhatikan ekosistem. Pohon-pohon yang begitu besar itu, saya kira usianya pasti ratusan tahun. Kalau yang pernah ke tempat wisata Mojosemi Sarangan Magetan, saya kira pohon-pohon besar di Ho Chi Minh itu jenisnya sama. Atau yang pernah di istana Bogor, saya kira juga sama.

Di bagian ruas jalan-jalan lainnya banyak sekali ditanam pahon asam. Kalau melihat besarnya usianya sekitar 10-15 tahun. Dan sejak ditanam dipelihara dengan baik, terlihat tumbuhnya meninggi dan pohonnya juga relatif lurus-lurus. Nampak kalau cabang-cabang mulai ditanam rajin dipotong sehingga tumbuhnya menjulang ke atas. Dan yang mati segera di tanam kembali. Hal ini nampak beberapa pohon bentuknya jauh lebih kecil dibandingkan dengan kebanyakan pohon lainnya. Dan pohonnya masih ditopang dengan kayu agar tidak roboh mengingat beberapa hari terjadi angin topan.

Para pembaca dapat membayangkan seperti jalan Malioboro dan Mangkubumi di kota Yogyakarta yang saat ini kanan-kirinya juga sudah tumbuh pohon asam yang sudah mulai berbuah. Saya kira usianya jauh lebih muda dibandingkan dengan pohon asam di Ho Chi Minh. Pohon asam di jalan Malioboro dan Mangkubumi usianya saya kira sekitar delapan tahun. Saya tahu karena saya mengikuti perkembangan mulai ditanam saat itu. Mengingat begitu seringnya saya ke Yogyakarta.

Makanan Khas Vietnam dan Enak di Ho Chi Minh (Saigon).

Dulu Vietnam merupakan jajahan Perancis, termasuk Kamboja dan Laos dengan membentuk Indochina Perancis. Namun setelah Perang Dunia II Vietnam merdeka dan terbagi dua, Vietnam Utara yang komunis dengan ibu kota di Hanoi. Sedang Vietnam Selatan yang didukung negara barat dengan ibu kota di Saigon.

Perbedaan idologi selalu menimbulkan ketegangan, layaknya Korea Utara dan Korea Selatan sampai sekarang. Akibat yang terjadi di Vietnam ketegangan tersebut sejak tahun 1955-1975 meletus dan terjadi peperangan yang menyebabkan banyak korban jiwa. Bahkan peperangan di Vietnam melibatkan kekuatan dunia antara negara-negera beridiologi komunis dengan nonkomunis. Jatuhnya Vietnam Selatan di tahun 1975 dan berkuasanya partai komunis menimbukan kekhawatiran di berbagai negara.

Termasuk di Indonesia tentunya. Apalagi diikuti dengan Portugal menarik diri dari Timor Timor (waktu itu) dan Fretelin yang beridiologi komunis kemudian memproklamirkan kemerdekaan Timor Timur pada tanggal 28 November 1975. Kondisi politik ini tentu saja mengganggu keamanan kawasan selatan khususnya Indonesia dan Australia. Oleh sebab itu maka, konflik dan masuknya Indonesia ke Timor Timur tak lepas dari kondisi geopolitik saat itu. Dan tentu saja Indonesia ketika masuk Timor Timur juga mendapat restu serta dukungan dari USA maupun Australia juga negara barat lainnya.

Gerakan Perestroika oleh pemimpin Rusia Mikhail Gorbachev tahun 1980-an, dengan melakukan restrukturisasi dan mereformasi ekonomi yang stagnan, serta sistem politik yang terpusat terjadi perubahan mendasar di Rusia. Mulai diambil kebijakan dan dikenalkan serta  terjadi desentralisasi ekonomi, memperkenalkan ekonomi pasar, membuka diri pada investasi asing dan program-program lainnya yang dulunya tabu.

Perubahan kebijakan ini menggoncangkan sistem politik di Rusia, bahkan dulu banyak negara yang tergabung dalam Uni Soviet kemudian banyak yang memerdekakan dirinya. Partai komunis kemudian mulai merubah politiknya dengan membuka diri. Disusul Cina, dan juga Vietnam tentunya. Negara yang masih kukuh pada pendirian dan keyakinannya sampai dengan saat ini seperti Korea Utara dan Cuba. Dan terbukti tentunya menjadi sangat tertinggal menghadapi ekonomi pasar yang demikian kuat.

Dengan demikian Vietnam boleh dikatakan baru bisa membangun negaranya dengan sungguh-sungguh setelah tahun 1980-an di bawah Nguyen Van Linh. Di bawah kepemimpinannya Vietnam mulai dikenalkan ekonomi pasar dengan meninggalkan ekonomi terencana model sosialis yang kaku. Dengan demikian dimulailah investasi asing masuk ke Vietnam.

Namun karena kesungguhan para pemimpinannya, dalam waktu singkat bisa mengejar ketertinggalan bahkan bisa jadi segera menyalip Indonesia, kalau kita tidak sungguh-sungguh fokus membangun dan para elite hanya berkutat pokoknya berkuasa dengan hanya menarisikan dendam politik yang dibawa ke ranah pribadi. Jadinya pembangunan menjadi terhambat, karena semua hanya berfokus pada kelompoknya bukan bangsanya.

Tidak dengan Vietnam saat ini. Keterpurukan masa lalu nampaknya mulai menyadarkan para pemimpin dan rakyatnya untuk terus membangun dan mengejar ketertinggalan. Sisa-sisa masa komunis yang otoriter sudah mulai hilang di dalam kehidupan rakyatnya, kecuali yang masih masih terasa banyaknya alat propaganda seperti bendera bendera negara warna merah dan bendera partai komunis berlogo palu dan arit bertebaran dimana-mana. Seperti layaknya bendera partai yang dipasang dimana-mana di Indonesia.

Berbeda dengan Hanoi, kota Ho Chi Minh ketika masih menjadi ibu kota Vietnam Selatan merupakan kota dengan budaya kebarat-baratan, atmosfernya masih tersisa sampai dengan sekarang. Kotanya lebih besar dibandingkan dengan Hanoi. Jauh lebih bersih, tertata dengan gedung-gedung pencakar langitnya lebih banyak dan modern. Kalau malam hari nampak gemerlap. Demikian juga kehidupan malamnya nampak lebih dinamis dengan segala pernak-pernik kehidupan malamnya.

Sambil jalan menuju restoran Hong Phat, hari pertama saya mencoba menikmati kota Ho Chi Minh di waktu malam. Sama seperti di Hanoi ketika memilih restoran di Ho Chi Minh ini saya juga atas rekomendasi Michelin. Dan memang atas rekomendasi Michelin itu sudah terbukti, selama di Hanoi masakannya juga memang enak-enak. Restorannya juga tidak terlalu jauh dengan hotel tempat saya menginap. Tinggal jalan kaki saja sekitar 700 meter. Sekaligus olahraga dan juga juga melihat dari dekat kehidupan nyata di kota yang sedang dan terus tumbuh ini.

Restorannya ternyata cukup representatif, dan kebetulan tidak terlalu ramai sampai antri misalnya. Ada beberapa restoran yang rekomendasi Michelin yang mau masuk saja harus antri seperti kita mau antri minyak jaman susah dulu. Wah kalau mau makan saja harus antri begitu panjang, saya terus terang mendingan tidak saja. Sama ketika saya dulu ke Seoul Korsel, diajak makan di Ginseng Chicken Soup yang amat terkenal (saya lupa namanya restoran), yang mau makan siang saja sampai antrinya panjang banget. Apalagi waktu itu masih musim dingin. Kok ya sabar banget ya antri makan “direwangi” seperti itu. Untungnya waktu itu saya beserta rombongan sudah dipesankan dulu oleh panitia, jadi langsung tidak perlu antri. Tapi memang rasanya enak dan “mak nyus” (meminjam Bondan Winarno) sesuai rekomendasi Michelin.

Banyak pilihan makanan di Ho Chi Minh. Untuk “niteni” seperti masakan semacam soup mie di Vietnam misalnya, yang pasti diawali “Pho”. Seperti Pho Ga atau Chicken Strips, Pho Tai atau Rare Steak dst.  Tapi saat itu saya sengaja ingin makan yang ada nasinya. Pilihan jatuh di Com Bo Kho (Stewed beef shanks with rice). Atau kalau bahasa Indonesia, betis sapi rebus dengan menu nasi. Untuk rasa ya saya pasrahkan ke Michelin dan saya percaya betul. Sedang minumnya saya pesan juice apokat. Tidak terlalu lama pesanan sudah datang. Pelayannya masih muda-muda dan sangat cekatan dalam melayani. Dengan bahasa Inggris logat Vietnam tentunya. Dan saya juga bahasa Inggris logat Jawa. Tapi juga nyambung juga.

Begitu datang langsung saya cicipi. Bagaimana rasanya? Kalau saya rasakan seperti masakan Jawa “semur daging.” Namun ada bedanya, agak nendang rasa pedasnya dan ada rasa kecutnya. Kalau “semur daging” di Jawa yang nendang rasa manisnya. Ya sebentar saja sudah ludes, ya ketambahan karena kangen nasi dicampur yang memang rasanya juga enak. Tapi saya sekarang kalau makan seenak apapun nggak bakalan nambah. Faktor usia menjadi pertimbangan. Apa yang masuk harus diukur kalori yang keluar, dengan cara olahraga salah satunya.

Yang saya juga heran, lidah menantu dan cucu saya yang hidup di Amsterdam Belanda juga sama saja. Lahap setiap makanan yang disajikan. Harga setiap porsi makanan yang saya pesan kala itu VND 160.000, sedang minuman VND 49.000. Kalau dirupiahkan tinggal kalikan 0,8 persen. Ya tidak terlalu mahal, sama dengan restoran di Indonesia saya kira. Demikian juga dengan makanan yang sekelas resto kecil-kecil juga tidak terlalu mahal kalau dirupiahkan.

Pulang makan malam sambil jalan kaki, sepanjang kanan-kiri jalan penuh dengan toko-toko milik perorangan, Namun kebanyakan adalah restoran. Dan seperti di Hanoi restorannya umumnya kecil-kecil ukuran 3×7 meter. Bahkan saya pernah mengira-ira ngukur ada restoran/warung yang ukurannya hanya 2×7 meter. Tak mengherankan kalau para pemesan kemudian duduk di kursi dan meja kecil-kecil di pedestrian.

Ini asumsi saya saja, setelah mengamati mengapa resto di Hanoi dan Ho Chi Minh Vietnam kursi dan mejanya kecil-kecil. Saya kira karena restonya memang sempit-sempit. Kalau meja dan kursinya dengan ukuran normal tentu tidak akan cukup ruangannya. Karena setelah saya bandingkan dengan resto di luar kota kebanyakan juga kursinya normal seperti kursi di tempat kita. Kecuali di kota kalau memang resto yang besar, meja kursinya juga normal.

Namun yang saya herankan duduk di kursi dan meja kecil begitu kok ya “betah.” Karena begitu banyaknya orang-orang, tua, muda, baik orang lokal maupun turis asing pada nongkrong. Malahan ketika saya berangkat dan pulang pada jalan yang sama, orang-orang yang duduk tadi kebanyakan orang yang sama ketika saya berangkat dan pulang. Artinya nongkrongnya khan sudah lama banget.

Sedang makan paginya di hotel, sama dengan umumnya hotel di Hanoi, menunya juga perpaduan makanan barat dan Vietnam. Malahan juga ada rebusan juga. Tapi rebusannya yang sering saya temui adalah jagung, dan ketela rambat. Saya mencoba rebusan ala Vietnam, rasanya juga sama dengan kita. Namun ketela rambatnya enak, dalam bahasa Jawanya “ngetan”. Demikian juga jagung rebusnya. Nampaknya turis bule-bule tidak ada nyentuh rebusan, kecuali turis dari Asia kalau saya perhatikan. Dan tentunya termasuk saya.

Sedang makan siangnya, saya di pasar tradisonal bersama istri. Ingin juga merasakan bagaimana makan di pasar tradisional Ho Chi Minh. Menunya ya kebanyakan semacam soup mie dengan berbagai variasinya. Sedang untuk menambah karbohidrat dipadu dengan makan sejenis roti cakue yang banyak juga tersedia di resto. Harganya kalau dirupiahkan juga tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Sekali lagi demikian juga kalau kita makan di kelas resto yang agak besarya sama juga dengan Indonesia.

Sedang makan malam hari kedua, saya sengaja mencari makanan halal di depan masjid Al-Rahim, Malaysia-Indonesia. Sebenarnya masjidnya juga tidak terlalu jauh dari hotel. Hanya sekitar 1,5 km saja. Namun karena ada anak kecil dan juga sudah cukup capai maka diputuskan naik taksi. Masjid Al-Rahim ini dibangun pada tahun 1885 oleh orang-orang Bawean yang saat ini masuk ke dalam wilayah Kabupaten Gresik. Memang orang Bawean merupakan pelaut ulung. Suku Bawean juga banyak terdapat di Malaysia dan Singapura. Dan masjid Al-Rahim merupakan masjid pertama di Vietnam yang sekarang seluruhnya menganut idiologi komunis.

Saya mencoba memilih menu masakan yang ada. Kebetulan menu yang ada nasinya lagi habis. Akhirnya setelah melihat daftar menu, saya memilih Banh Mi Bo Kho (Braised Beef Served with Bread), artinya semacam soup daging agak “sumer-sumer” pedasnya dengan disertai roti. Sedang minumnya selain air mineral saya pesan juice apokat. Sambil menunggu masakan siap, saya mencoba mencari tahu tentang masjid ini. Dan diterangkan oleh salah satu yang mbantu melayani resto ini.

Penjual dan yang nglayani juga warga Vietnam yang beragama Islam. Tidak lama kemudian makanan sudah siap. Langsung saya tanya menantu saya yang memang warga Belanda, gimana rasanya. Menurut yang bersangkutan rasanya juga enak. Orang Belanda dikenal orang yang terus terang apa adanya. Demikian juga menurut anak saya juga enak. Namun komentarnya, hanya agak asin sedikit katanya. Tapi kalau menurut saya ya sudah cukup enak kok.

Sambil makan di kursi plastik kecil, saya melihat yang keluar masuk di masjid beberapa kok sepertinya keturunan Arab dengan melihat postur tubuhnya. Namun yang jualan makanan dengan label halal, semuanya orang Vietnam. Tentu saja dengan memperhatikan konsumennya pasti tidak ada orang-orang bule. Dan tentu saja konsumennya sangat segmented. Dan yang pasti hanya terbatas orang-orang Islam saja saya kira.

Pulangnya saya juga naik taksi lagi menuju hotel, karena tenaga juga harus dihemat agar tetap fit. Jangan sampai sakit, walaupun juga sudah sedia obat-obatan untuk jaga-jaga kalau ada keadaan emergensi. Dan oleh anak saya memang sudah disiapkan obat apa saja dan dalam kondisi tertentu harus bagaimana, sudah diberitahu sejak sebelum berangkat. Malahan oleh menantu saya juga sudah diasuransikan kalau dalam kondisi emergensi, sampai dengan asuransi kesehatannya. Itulah cara berpikir orang Belanda, sangat detail dan antisipatif.

Sampai di hotel kemudian segera istirahat karena esok harinya harus ke tempat distinasi wisata yang menarik di Ho Chi Minh, yaitu Cu Chi Tunnels dan Sun World Ba Den Mountain Cable yang jarakya sekitar dua jam perjalanan dengan mobil. Banyak sebenarnya yang mesti dilihat, namun harus selektif mengingat waktu yang juga cukup terbatas karena hari Selasa tanggal 29 Juli 2025 saya harus sudah pulang karena tiket penerbangan juga sudah terbeli. (bersambung).

Suprawoto adalah mantan Kadis Kominfo Provinsi Jawa Timur 2002-2005, Kepala Badan, Irjen, Sekretaris Jenderal Departemen Komunikasi dan Informatika 2014-2017. Dan saat ini sebagai Ketua Pembina Yayasan Pendidikan Wartawan Jawa Timur.

 

Loading

Leave a Reply

error: Content is protected !!