Oleh : Diana Sasa
“Kepemimpinan adalah kemampuan untuk menerjemahkan visi menjadi kenyataan.” — Warren Bennis
Sekarang Magetan punya pemimpin baru. Sudah dilantik. Sudah resmi. Sudah mulai masuk kantor. Dan sekarang waktunya bekerja. Bukan sekadar memimpin apel pagi. Bukan sekadar memberi sambutan seremonial.
Saya bukan orang yang gampang terpesona. Sudah terlalu lama kita diajak percaya pada visi yang indah tapi mandek di dinding kantor pemerintahan. Tapi saya juga bukan orang yang sinis. Saya tahu, perubahan selalu punya titik berangkat. Dan kemarin itu salah satunya: pelantikan Hj. Nanik Endang R., M.Pd dan Suyatni Priasmoro, S.H., M.H
Mereka memulai tugasnya dengan tumpukan harapan dan warisan yang tidak kecil. Bukan warisan kekuasaan. Tapi warisan standar.
Nanik bukan orang baru. Karena, mari kita jujur. Nama Nanik akan selalu diiringi embusan: “Itu mantan istri Sumantri.” Ia juga mantan wakil dari Suprawoto. Tapi, justru di situlah titik baliknya.
Kini, ia berada di garis depan. Bukan lagi sebagai bayangan siapa-siapa. Ia dengan segala keterbatasan dan potensinya, adalah Nanik yang punya kewenangan. Kali ini ia di depan. Ia bukan lagi bayang-bayang. Bukan lagi pendamping. Kini semua lampu sorot mengarah padanya. Dan itu tidak mudah.
Banyak yang menunggu: apakah Nanik bisa benar-benar memimpin dengan caranya sendiri? Ataukah tetap membawa pola yang sama, hanya ganti warna baju.
Suyatni juga bukan wajah baru. Mantan anggota DPRD Jawa Timur. Ia tahu cara kerja birokrasi dari sisi pengawasan. Kini ia bagian dari pelaksana. Ia harus bantu mengimbangi, bukan hanya menyetujui. Menjadi pendamping yang sekaligus navigator.
Di era Suprawoto, birokrasi Magetan dipaksa berpikir. Dipaksa berubah. Digeser dari zona nyaman. Perubahan tak berhenti soal gedung dan sistem saja. Yang diubah adalah soal cara melayani. Pelayanan publik mulai bergerak dari basa basi ke aksi. Perbaikannya pada kecepatan, kejelasan, dan kesetaraan.
Mall Pelayanan Publik (MPP) dibangun. Tiga kali berturut-turut dapat penghargaan Pelayanan Prima dari Kementerian PAN-RB. Tiket Sarangan mulai digital. Dulu abu-abu, sekarang mulai transparan. Suprawoto bahkan menyekolahkan PNS. Supaya tidak hanya gagah di seragam. Tapi juga kuat di isi kepala.
ASN ditempatkan sesuai bidangnya. Tidak semua bisa dipindah seenaknya. Suprawoto pelan-pelan memperkuat tulang punggung birokrasi. Yang bekerja, didorong. Yang lambat, digeser.
Mahasiswa Magetan dapat peluang beasiswa pemkab. Anak muda Magetan jadi punya harapan masa depan. Bukan cuma sekadar dijadikan peserta seminar gratis.
Sekarang, Nanik dan Suyatni masuk.
Tantangannya? Menjaga yang sudah baik, lalu naikkan levelnya. Melanjutkan penataan birokrasi dengan profesional, bukan siapa yang dekat dan melayani bupati. Butuh keberanian mencabut akar lama. Budaya “yang penting laporan lengkap” harus diganti dengan budaya “yang penting warga terlayani.”
Digitalisasi bukan sekadar alat. Tapi cara berpikir. ASN tidak cukup bisa buka komputer. Mereka harus mengerti kenapa warga tidak boleh lagi disuruh bolak-balik hanya untuk satu surat. Tidak ada lagi pungutan liar, karena semua digital, transparan.
Pemerintahan bersih dan terpercaya itu misi mereka. Kita tahu, integritas birokrasi sering menjadi ilusi. Tapi pengalaman Suyatni di legislatif bisa jadi nilai tambah. Ia tahu titik-titik rawan anggaran. Ia paham bagaimana politik lokal bekerja. Tugasnya sekarang adalah menjadi pengimbang internal. Mendorong reformasi birokrasi dari dalam, bukan sekadar sebagai juru bicara kebijakan.
Magetan tidak butuh perubahan yang heboh. Cukup yang konsisten. Tidak perlu inovasi yang gemerlap. Tapi cukup satu: hadirkan kenyamanan dalam urusan kecil. Yang besar akan mengikuti.
Kalau Nanik bisa memimpin tanpa bayang-bayang, dan Suyatni bisa menjadi pengimbang yang kritis, maka duet ini bukan hanya sah di atas kertas. Tapi juga sah di mata warga.
Sekarang, saat mereka sudah duduk di kursi pengambil keputusan, rakyat hanya ingin satu hal: buktikan bahwa kursi itu bukan tempat tidur, tapi meja kerja.
Selamat bertugas, Bu Nanik dan Pak Suyatni. Kami akan terus mendukung dan mengkritik bila perlu. Karena yang kami harapkan bukan Bupati dan Wakil Bupati yang hadir di seremoni. Tapi pemimpin yang kerja dengan berani, bukan hanya berani kerja.
Selamat datang di panggung utama. Saatnya Magetan membuktikan: visi bukan sekadar tulisan di baliho, tapi kerja yang bisa dirasakan rakyat
Karena yang baru saja dilantik kemarin itu, sesungguhnya adalah “harapan” kami, (*)
Warga Mangkujayan, Mahasiswa Pascasarjana Ketahanan Nasional, UGM