Wajah Magetan yang Ingin Kita Lihat.
Magetan. Kabupaten ini ingin jadi primadona investasi. Tertulis begitu di misi nomor tiga pemimpin barunya. Investasi harus gampang, aman, menguntungkan. Begitu katanya.
Investasi tak cukup dengan niat saja. Jalan harus siap. Lahan buat pabriknya harus ada. Aturannya jelas, jangan berubah-ubah, sekarang A besok B. Dan yang paling penting: investor datang, tahu harus lewat pintu mana. Jangan sampai sudah di depan mata, justru kebingungan ketuk pintu yang mana.
Selama ini banyak yang datang, lihat-ligat, lalu balik kanan. Bukan karena tidak tertarik. Tapi karena tak tahu mau masuk lewat pintu mana. Lahan industri kepemilikannya terbagi-bagi. Ijinnya bikin pelaku usaha geleng-geleng kepala. Listrik, air, dan akses jalan kadang gak nyambung.
Sementara itu, pengangguran terjadi diam-diam sejak dua tahun terakhir. Orang cari kerja makin susah. Beberapa pabrik kecil tutup pelan-pelan. UMKM megap-megap, bertahan sekedar cukup untuk hidup sehari-hari. Ruangnya ada. Tapi pintunya belum bisa dibuka.
Magetan sebenarnya punya potensi besar. Tapi potensinya masih disimpan di laci. Belum ketemu kunci yang cocok untuk membukanya.
MPP sudah berdiri. Pelayanan mulai digital. Katanya 10 menit izin jadi. Bahkan bisa jemput bola. Tapi investor butuh kepastian. Izin jangan ditahan. Aturan jangan jadi jebakan. Birokrasi jangan pasang dua muka: ramah di presentasi, gelap di belakang layar.
Sekarang kita sambungkan dengan misi keempat: Magetan ingin mandiri, berkembang, dan siap bersaing.
Ini urusan ke dalam. Bukan sekadar soal bagaimana mengundang modal dari luar. Tapi soal nyiapin anak-anak mudanya. Biar desa-desa bisa hidup. Biar warganya tak cuma jadi penonton, tapi jadi pelaku.
Apakah pelatihan kerja kita sudah nyambung dengan kebutuhan pasar industri dan wisata misalnya? UMKM diberi pelatihan terus, tapi pasarnya tidak dibukakan. Warga diajak melek digital, tapi sinyal di desanya masih putus nyambung. Ini problem.
Kemandirian itu bukan soal berdiri sendiri. Tapi soal punya pilihan. Punya jalan. Diberi kesempatan.
Dan satu lagi, misi yang sering perlu disambungkan: Magetan ramah dan cantik.
Ramah untuk siapa?
Cantik di sebelah mana?
Kalau trotoar tidak bisa dilewati stroller bayi dan kursi roda, apakah itu ramah?
Kalau pelayanan masih tergantung siapa yang dikenal dan seberapa tebal amplop yang dibawa apakah itu menarik?
Cantik tentu bukan cuma taman bunga dan gapura warna-warni. Tapi jalan yang mulus. Trotoar yang bisa dilewati orang tua dan difabel. Lampu jalan yang menyala terang. Ruang terbuka yang bikin orang betah duduk. Anak punya ruang bermain yang edukatif dan terjangkau. Desa yang punya ciri khas.
Ramah tak cukup hanya sampai senyum sapa petugas pelayanan. Tapi bagaimana warga dilayani. Cepat. Jelas. Tanpa ribet. Tanpa harus kenal orang dalam.
Magetan akan disebut cantik kalau rakyat merasa nyaman tinggal di sini. Tidak merasa dikalahkan oleh sistem, tidak merasa dilupakan oleh kebijakan.
Tiga misi ini sebetulnya saling berkaitan. Kalau kotanya enak, investornya datang. Kalau warganya siap, kemandirian tumbuh. Kalau aturannya jelas, semuanya lancar.
Sekarang tinggal Bu Nanik dan Pak Suyatni. Petanya sudah ada. Sudah punya panggung. Tinggal buktikan bahwa Magetan bisa jadi rumah untuk semua, bukan cuma untuk tamu. Tapi juga untuk warganya sendiri.
Tapi ingat, misi ini hanya akan jadi pajangan jika tidak dikawal dengan transparansi anggaran, partisipasi warga, dan kemauan mendengar suara yang berbeda.
Penulis : Diana Sasa (Warga Mangkujayan, Mahasiswa Pascasarjana Ketahanan Nasional, UGM)