NGAWI | INTIJATIM.ID – Pengamat pendidikan yang juga mantan Ketua KPU Ngawi, Syamsul Wathoni, menyoroti adanya kasus satu madrasah di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag), yang memiliki dua Surat Keputusan (SK) untuk jabatan kepala madrasah. Ia menyebut kondisi ini sebagai bentuk maladministrasi yang serius.
“Jika SK kepala sekolah diganti dengan SK baru tanpa adanya pemberhentian secara resmi, hal ini menimbulkan beberapa implikasi yang tidak bisa dianggap sepele,” ujar Wathoni, Jumat (11/7/2025).
Menurutnya, secara hukum, penerbitan SK baru tanpa pencabutan atau pemberhentian SK sebelumnya berpotensi dianggap tidak sah. Prosedur yang benar, lanjut Wathoni, adalah dengan memberhentikan kepala madrasah lama terlebih dahulu melalui SK pemberhentian, baru kemudian mengangkat kepala madrasah baru.
“Tanpa itu, status dan wewenang kepala madrasah bisa menjadi kabur, dan ini sangat rawan menimbulkan masalah hukum,” jelasnya.
Wathoni juga membeberkan sejumlah implikasi yang mungkin terjadi akibat praktik administrasi yang keliru ini. Diantaranya, ketidakjelasan status dan wewenang pejabat, timbulnya persoalan hukum, potensi konflik internal di lingkungan madrasah, dan kemungkinan munculnya gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
“Jika SK dikeluarkan oleh pejabat yang sama, untuk jabatan yang sama, tanpa ada kejelasan tentang pemberhentian pejabat lama, maka itu bisa dikategorikan sebagai maladministrasi,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa, pengangkatan kepala madrasah baru harus diiringi dengan pemberhentian pejabat lama. Jika pejabat lama tetap aktif sebagai guru, maka harus ada SK penugasan sebagai guru pula.
“Kalau tidak ada SK pemberhentian atau penugasan baru, maka sangat mungkin terjadi dualisme kepemimpinan. Ini jelas masuk kategori kesalahan administrasi yang bisa dipermasalahkan secara hukum,” pungkas Wathoni. (Mei/IJ)