NGAWI | INTIJATIM.ID – Meski ajang Indonesia Fashion Week (IFW) ramai mendapat kritik dari berbagai media, bagi para pengrajin batik di Kabupaten Ngawi, gelaran fesyen bergengsi ini justru membawa angin segar. Terutama dari sisi branding dan peningkatan ekonomi lokal.
Data yang dihimpun dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, Tenaga Kerja (DPPTK) Kabupaten Ngawi menunjukkan, adanya kenaikan jumlah pengrajin batik sebesar 10 persen sejak IFW 2024 digelar. Tak hanya jumlah pengrajin, pesanan kain batik dengan motif-motif baru juga meningkat, bahkan datang dari luar daerah.
“Dampak branding di media sosial itu besar, banyak pesanan datang dari kalangan ibu-ibu pejabat dari kabupaten lain,” kata Kusumawati Nilam, Kadis DPPTK Ngawi. Kamis (26/06/25)
Menanggapi kontroversi yang muncul di balik pelaksanaan IFW, Kusumawati Nilam mengaku siap berbenah dan mengambil sisi positif dari saran serta kritikan tersebut.
“Kami berterima kasih atas kritik dan masukannya. Itu jadi evaluasi agar ke depan bisa lebih baik, dan tentu akan terus menjaga komunikasi dan kerja sama dengan media,” ungkapnya.
Tak hanya para pengrajin, sektor pendidikan juga turut merasakan efek domino dari ajang tersebut. SMKN 1 Kasreman misalnya, melaporkan adanya lonjakan peminat jurusan Tata Busana. Dari semula hanya 20-30 siswa per tahun, kini meningkat menjadi 50-60 siswa untuk tahun ajaran 2025/2026.
Desain-desain busana yang ditampilkan di IFW juga mengalami peningkatan penjualan pasca acara. Desainer muda pun mulai naik daun, terutama berkat eksposur di media sosial.
“IFW itu utamanya memang ajang promosi. Efeknya lebih ke pasca-event, di mana para desainer lokal bisa naik kelas ke level nasional. Soal penjualan memang tidak langsung terasa, tapi manfaatnya banyak sekali,” jelas Rhiana Putri, salah satu desainer yang turut ambil bagian dalam IFW.
Rhiana menekankan bahwa, kesuksesan seorang desainer tidak bisa diraih secara instan. “Untuk bisa menjual karya dengan harga tinggi, harus melalui proses panjang, belajar teknik, branding, dan strategi pemasaran. Nah, ikut IFW itu salah satu jalannya. Saya lihat teman-teman desainer bisa memanfaatkan momen itu dengan baik,” paparnya.
Rhiana mencontohkan, seorang desainer yang sebelumnya hanya bisa menjual busana batik seharga Rp300 ribu, namun setelah tampil di IFW, harga busananya bisa tembus Rp2 juta.
IFW mungkin bukan tanpa cela, tapi bagi para pelaku industri kreatif dan pelaku UMKM di daerah, terutama pengrajin batik dan desainer muda, ajang ini tetap menjadi momentum penting untuk naik kelas. (Mei)