JAKARTA | Inti Jatim – Menkopolhukam RI Mahfud MD, membeberkan alasannya mengungkap transaksi mencurigakan Rp349 triliun ke publik. Hal ini disampaikan Mahmud MD dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III dan Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU di Gedung Nusantara II, pada Rabu 29 Maret 2023.
“Saya umumkan kasus itu adalah sifatnya agregat, jadi perputaran uang tidak menyebutkan nama orang, tidak menyebut nama akun. Itu tidak boleh agregat bahwa perputaran uang laporan itu Rp349 triliun. Agregat,” terangnya.
Menurut Menkopolhukam Ri ini, sejumlah nama yang diungkap ke publik justru sudah menjadi kasus hukum, seperti Rafael Alun Trisambodo dan Angin Priyatno. Selain itu, nama lainnya juga muncul ke publik yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
“Saya tidak sebut nama, yang menyebut nama inisial bukan saya, tp Bu Sri Mulyani. Nanti tanyakan kepada beliau. Itu justru salahnya di situ,” jelas Mahfud, Rabu (29/3).
Ia juga menjelaskan, bahwa informasi tersebut berasal dari Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) NRI Tahun 1945.
“Saudara-saudara, ini ada ketentuan di UUD yang tidak boleh menyebut itu kalau menyangkut identitas seseorang, nama perusahaan, nomor akun, dan sebagainya. Profil entitas yang terkait yang melakukan transaksi terlapor, nilai, tujuan transaksi itu semua tidak boleh disebut. Saya tidak menyebut apa-apa hanya menyebut angka agregat,” ungkapnya.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan menyebut laporan PPATK soal transaksi mencurigakan itu seharusnya tak boleh diumumkan ke publik.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, kata Arteria, ada ancaman pidana 4 tahun bagi yang membocorkan.
“Setiap orang, itu termasuk juga menteri, termasuk juga menko (menteri koordinator), ya, yang memperoleh dokumen atau keterangan, dalam rangka pelaksanaan tugasnya, menurut UU ini wajib merahasiakan dokumen atau keterangan tersebut,” ucap Arteria dalam rapat kerja (raker) antara PPATK dan Komisi III DPR RI di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (28/3).
Menurut dia, setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap pasal tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. (*)
Sumber : Siberindo.Co