PERISTIWA G30S/PKI 1965: Titik Balik Sejarah Indonesia

Tulisa Opini Budi Hantara

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) merupakan tragedi paling kelam dalam sejarah Indonesia. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh kondisi politik, sosial, dan ekonomi yang tidak stabil pada awal tahun 1960-an. Setelah keluarnya dekrit presiden 5 Juli 1959 Indonesia menggunakan sistem Demokrasi Terpimpin. Dalam rangka mewujudkan persatuan bangsa, Presiden Soekarno berusaha menyatukan tiga kekuatan politik besar, yakni golongan nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom).

Ternyata harapan Presiden Soekarno tidak berjalan mulus. PKI sebagai salah satu partai komunis terbesar di Indonesia semakin agresif memperluas pengaruhnya. Kondisi ekonomi pada masa itu semakin buruk. Pada tahun 1965 inflasi mencapai 600% yang menyebabkan harga barang pokok melambung tinggi dan kesejahteraan rakyat sangat merosot. Situasi ini menimbulkan ketegangan politik yang dimanfaatkan PKI untuk menggalang dukungan massa, terutama dari buruh dan petani.

Pada malam 30 September 1965 hingga dini hari 1 Oktober 1965, sekelompok pasukan yang menamakan diri Gerakan 30 September menculik tujuh perwira TNI AD. Enam jenderal dan satu perwira menengah dibunuh dan jasad mereka dibuang ke Lubang Buaya, Jakarta. Peristiwa ini menimbulkan guncangan besar bagi bangsa Indonesia.

Mayor Jenderal Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kostrad, bergerak cepat mengambil alih kendali militer. Dalam pidatonya pada 1 Oktober 1965, Soeharto menegaskan: “Gerakan kontra-revolusi yang mencoba menggulingkan kekuasaan sah Republik Indonesia harus kita hancurkan sampai ke akar-akarnya.” (Arsip Pusat Sejarah TNI, 1965). Sementara itu, rakyat berada dalam ketakutan akibat simpang siur informasi. Di berbagai daerah, isu keterlibatan PKI semakin meluas, menimbulkan konflik horizontal dan aksi kekerasan yang menelan banyak korban.

Sikap Presiden Soekarno Pasca Peristiwa G30S/PKI

Presiden Soekarno berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi ia harus menjaga kewibawaannya sebagai pemimpin tertinggi negara namun kedekatannya dengan dengan PKI membuatnya tidak bisa bersikap tegas. Sikap Soekarno yang tidak segera membubarkan PKI menimbulkan kecurigaan di kalangan militer dan sebagian rakyat.

Soekarno dalam pidatonya di hadapan rakyat pada 2 Oktober 1965 menyatakan: “Tetap tenang, tetap bersatu di belakang pimpinan besar revolusi. Jangan terpengaruh oleh isu-isu yang memecah belah persatuan bangsa.” (Pidato Presiden Soekarno, Arsip Nasional RI). Pernyataan ini menunjukkan bahwa Soekarno lebih memilih menjaga keseimbangan politik daripada mengambil tindakan tegas terhadap PKI. Sikap Soekarno yang tidak tegas inilah yang kemudian memperlemah posisinya.

Jatuhnya Orde Lama dan Lahirnya Orde Baru

Krisis politik pasca-G30S/PKI mempercepat keruntuhan Orde Lama. Titik balik terjadi ketika Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), yang memberi kewenangan kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil langkah-langkah demi pemulihan keamanan.

Dengan dasar Supersemar, Soeharto segera membubarkan PKI dan melarang semua aktivitasnya. Sejarawan Nugroho Notosusanto menulis bahwa “Supersemar menjadi legitimasi politik dan hukum bagi Soeharto untuk mengambil alih kendali pemerintahan dari tangan Soekarno secara bertahap” (Notosusanto, Naskah Sejarah G30S/PKI, 1985).

Pada tahun 1967, Soeharto ditetapkan sebagai Pejabat Presiden, dan pada 1968 ia resmi menjadi Presiden Republik Indonesia. Dengan demikian lahirlah Orde Baru, sebuah rezim yang menekankan stabilitas politik, pembangunan ekonomi, serta sikap anti-komunisme yang kuat.

Peristiwa G30S/PKI menjadi bagian perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang tidak boleh dilupakan. Ada pesan moral penting yang perlu kita pahami bersama, antara lain.

1. Bahaya  Ideologi Ekstrem

Sejarah menunjukkan bahwa ideologi yang dipaksakan dengan cara kekerasan hanya menimbulkan penderitaan. Radikalisme, baik kiri maupun kanan, selalu menjadi ancaman bagi persatuan bangsa.

2. Pentingnya Persatuan Nasional

Perpecahan politik pada masa lalu membuka celah bagi konflik besar. Generasi sekarang harus mengedepankan semangat persatuan dan menjauhi politik yang memecah belah.

3. Kepemimpinan yang Tegas dan Bijaksana

Krisis 1965 menunjukkan perlunya pemimpin yang mampu mengambil keputusan cepat dan adil. Sikap pemimpin yang tidak tegas dan bijaksana dapat menimbulkan kekacauan yang lebih luas.

4. Mengutamakan Nilai Kemanusiaan

Dampak pasca-G30S/PKI, yakni pembunuhan massal dan pelanggaran hak asasi, menjadi pengingat bahwa kekerasan politik hanya meninggalkan luka.

5. Demokrasi sebagai Jalan Tengah

Dalam era sekarang, perbedaan politik harus diselesaikan lewat dialog, musyawarah, dan demokrasi, bukan dengan senjata.

Semoga dengan memahami Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI), kita bisa mengambil hikmahnya agar tidak terjebak dalam konflik serupa. Dengan menjaga persatuan, mengedepankan demokrasi, serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, bangsa Indonesia dapat lebih bijaksana menghadapi gejolak politik dan tantangan zaman.

Penulis: Budi Hantara (Guru SMPN 1 Ngawi)

Loading

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!