NIAT Dilantik, Magetan Menunggu Gebrakan (Bagian 3)

Diana Sasa, Anggota DPR Provinsi Jatim

Oleh: Diana Sasa

Pemimpin baru Magetan sudah mulai kerja. Gebrakannya? Salah satunya ingin jadikan Magetan penopang ketahanan pangan nasional. Hebat! Tepuk tangan dulu.

Tapi, tunggu. Jangan keburu mabuk pujian. Mari kita bedah. Benarkah Magetan sesuperior itu?

Lihat Indeks Ketahanan Pangan (IKP). Angkanya memang tinggi. Di atas 86, bahkan hampir 88 tahun 2024. Peringkat dua se-Jawa Timur. Desa-desanya mayoritas “sangat tahan pangan”. Keren di atas kertas.

Produksi pangan? Oke. Sawah 26 ribu hektar bisa panen 58 ribu hektar setahun. Artinya tanam dua kali lebih. Padi pernah 180 ribu ton. Jagung melimpah. Ketersediaan pangan (availability) tampak aman.

Tapi, masalahnya, ketahanan pangan itu tak sekedar soal perut kenyang hari ini. Bukan pula sekedar angka produksi.

Coba tengok pilar lain. Aksesibilitas (accessibility). Bagaimana rakyat bisa beli pangan itu? Data BPS, angka kemiskinan Magetan masih 9,32% (Nov 2024). Memang turun, tapi masih ada puluhan ribu orang hidup dekat garis kemiskinan (Rp 455 ribu per orang per bulan, Maret 2024). Buat mereka, pangan melimpah di pasar belum tentu terjangkau.

Lalu, pilar pemanfaatan (utilization). Bagaimana tubuh menyerap gizi dari makanan? Lihat angka stunting. Anak-anak kurang berat badan karena kurang gizi. Angkanya memang turun, tapi masih 17,2% (data 2021). Masih ada belasan dari seratus balita yang gizinya bermasalah. Padahal katanya lumbung pangan?

Ini ironi. Produksi tinggi, IKP bagus, tapi rakyat miskin masih ada, anak stunting juga masih banyak. Ada yang tidak nyambung di sini.

Belum lagi soal masa depan. Siapa yang mau tanam padi 10-20 tahun lagi? Petani kita makin tua lho. Anak muda kabur ke kota. Lahan petani rata-rata cuma secuil, kurang dari sehektar. Mau hidup layak dari mana? Jadi, kalau bicara Magetan sebagai penopang pangan nasional, jangan cuma lihat angka produksi atau skor IKP yang mentereng. Itu bisa menipu.

Tanyakan pada pemimpin baru: Bagaimana strategi mengatasi kemiskinan petani? Bagaimana memberantas stunting sampai ke akar-akarnya? Bagaimana menarik anak muda kembali ke sawah? Bagaimana nasib petani dengan lahan secuil?

Ini bukan soal teknis tanam-menanam saja. Ini soal kebijakan yang berpihak. Soal sistem yang adil. Soal keberanian merombak struktur lama.

Saya belajar manajemen. Visi yang hebat perlu strategi konkret. Perlu ‘strategic fit’. Cocok antara mimpi bersama (visi), misi bersama, dan cara mencapainya. Pemimpin baru (agensi) punya kuasa mengubah sistem (struktur) agar langkahnya selaras dengan tujuan. Tapi kalau fokusnya hanya pada angka produksi dan IKP, tanpa menyentuh akar masalah kemiskinan, stunting, dan regenerasi petani, mimpi lumbung pangan nasional itu bisa jadi cuma ilusi.

Kerja nyata tak cukup dengan seremoni panen padi atau pamer data IKP. Tapi memastikan petani kecil sejahtera, anak-anak tumbuh sehat, dan masa depan pangan Magetan benar-benar terjamin. Caranya? Buka data kemiskinan dan stunting lebar-lebar. Ajak bicara petani gurem. Dengar keluhan ibu-ibu di posyandu. Jangan alergi kritik. Kalau tidak, status “penopang pangan nasional” itu hanya akan jadi pajangan di kantor bupati. Kosong (*)

Info Penulis : Warga Mangkujayan, Mahasiswa Pascasarjana Ketahanan Nasional, UGM

Loading

Leave a Reply